this sixteen

1.7K 253 11
                                    

❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜

Mereka beranjak dari bangunan yang hampir hangus terbakar itu menggunakan ambulans yang disediakan. Tadinya Jay menolak karena ia ingin membawa Jungwon pulang dan memanggil dokter pribadi keluarganya, atau paling tidak mengantar Jungwon langsung ke rumah sakit. Namun, Niki meyakinkan Jay jika berbaur dengan lapisan masyarakat akan membuat mereka sungguhan menjadi korban. Kondisi Jungwon juga harus dipertimbangkan betul-betul sebelum terjadi hal yang lebih tak diinginkan.

Akhirnya Jay mengalah. Ia membopong Jungwon dan menidurkan pemuda itu di atas brankar dengan lembut, padahal bisa saja ia memerintahkan para petugas medis melakukannya. Begitu brankar di dorong masuk ke dalam ambulans, Jungwon langsung mendapatkan penanganan. Mulai dari alat bantu pernafasan sampai pemberhentian darah yang mengalir. Jay hanya memerhatikan dengan serius.

"Kira-kira berapa jahitan?" Tiba-tiba ia bertanya seraya terus menaruh tangannya di dagu.

"Mungkin sekitar tiga atau empat. Pelurunya tidak menembus terlalu dalam, tapi tetap saja masuk kategori perlu perawatan rumah sakit." Jawaban itu membuat Jay mengangguk samar.

"Apanya empat jahitan?" Jungwon membuka matanya lebar-lebar. "Hei, kau ini suamiku atau bukan? Kenapa kau hanya menganggukan kepala seperti orang bodoh?!" Saat terbaring lemas pun ia masih sempat mengumpati suaminya.

Jay mendekatkan wajahnya pada Jungwon. "Jangan banyak mengumpat, sayang. Kita harus jadi keluarga harmonis di depan orang-orang." Jungwon mendecih sinis.

"Ayo pulang saja ke rumah. Luka ini bukan apa-apa, tak perlu sampai dijahit." Jungwon memejamkan matanya sebentar. "Dulu aku pernah jauh lebih parah, tapi akhirnya aku tetap hidup. Jangan mengkhawatirkan apapun," tambahnya.

Jay menghela nafas kemudian memegang kedua pipi Jungwon. "Jangan jadi seorang masokis di depanku, kecuali saat kita di ranjang." Ucapannya benar-benar vulgar, padahal ada satu perawat yang duduk di dekat Jay.

Jungwon mendesis. "Jika saja tanganku tidak sedang dipasangi infus, maka aku pastikan kau yang akan berbaring di sini karena sekarat."

"Silakan jika kau bisa," sahut Jay menantang. "Kau harus sembuh jika ingin menghajarku, bukan? Lakukan saja sepuasmu." Ia menaikan alis.

Jungwon diam. Kepalanya terasa pening, pandangannya mulai berkunang-kunang sementara ambulans yang ditumpangi mereka perlahan melambat dan berhenti pada sebuah rumah sakit terdekat dari lokasi tragedi. Tubuhnya dibawa masuk ke dalam bangunan itu menggunakan brankar dengan suara tapak kaki yang saling bersahutan cepat disertai deruman roda-roda brankar yang berputar tanpa henti.

Tangannya digenggam sebentar oleh Jay sebelum pria itu ditinggalkan berdiri sendirian di depan ruang gawat darurat. Jungwon tak tahu apa maksud dari genggaman tangan Jay barusan, hanya ada suara-suara samar dari dokter dan perawat yang membawanya. Lalu perlahan suara itu menghilang dengan sendirinya tertelan oleh keheningan panjang, dan kegelapan.

***

"Namamu benar Yang Jungwon?"

"Hei, brengsek. Umurmu lebih muda empat tahun dariku. Bersikap sopanlah sedikit!"

Pemuda itu terkekeh sebentar lalu kembali mengupas apel di tangannya. "Aku belum memperkenalkan diri secara resmi. Namaku Riki, aku biasanya dipanggil Taki karena nama asliku dan Niki serupa."

Ia menaruh apel yang telah ia kupas lalu mengambil sepotong untuk dimakan sendirian. Padahal seharusnya buah-buahan itu ia berikan pada Jungwon yang masih dalam tahap pemulihan. Taki mengunyah sambil sesekali mencuri pandang ke arah Jungwon.

"Jungwon, margamu bukan Yang ataupun Park. Perlukah aku sebutkan dari klan mana kau berasal?" Taki menatap Jungwon serius. Ada begitu banyak rahasia yang tertutup paksa karena bayangan seseorang, tapi Taki mampu mengoreknya sedikit demi sedikit.

"Klan apa? Memangnya kau pikir aku masuk klan bodoh mana?" Jungwon balik bertanya. Terkesan menantang. Responnya yang seperti itu malah membuat Taki senang.

"Bukan klan dari satu perkumpulan. Aku membahas klan yang diwariskan darah turun temurun padamu. Jangan berpura-pura bodoh." Taki menggunakan pisau buah sebagai penunjuk wajah Jungwon.

"Koga." Satu kata dari mulut Taki berhasil membuat Jungwon menghentikan kunyahan pada buah di tangannya. "Nama aslimu Hideyoshi. Umurmu empat tahun di atasku." Jungwon terdiam, belum berniat membalas perkataan Taki karena ia yakin pemuda itu hanya asal menebak.

"Kau bekerja sebagai pembunuh bayaran sejak lima tahun lalu, setelah sebelumnya dibuang karena lalai mengemban misi. Dari kecil kau sudah terbiasa dengan pengedaran obat, sehingga kau tumbuh jadi seorang pecandu seperti sekarang."

Taki bisa melihat guratan amarah dari sorot mata Jungwon. "Riwayat hidupmu sangat luar biasa," tambah Taki sebagai penutup.

"Wah, kau menyelidiki semua itu?" Meski terlampau kesal dan otaknya dipenuhi berbagai pertanyaan, tapi Jungwon masih tetap teguh pada pendiriannya. Ya, seharusnya begitu perannya. Jangan sampai penyamarannya terbongkar dan misi ini gagal total.

"Sepertinya kau kurang kerjaan. Tidak sopan bila kau menggali latar belakang orang sebegitu dalamnya." Ia harus berhati-hati dalam bertindak. Taki adalah ancaman.

"Meski aku belum tahu apa margamu di Jepang dan kenapa kau bisa ada pada tiap aktivitas gelap klan Koga, tapi aku yakin kau punya koneksi kuat dengan pemimpinnya." Taki menjauhkan pisau buah tersebut agar Jungwon tak punya kesempatan bila sewaktu-waktu ingin menghabisi nyawanya.

"Perdagangan organ, masuk dalam circle peredaran narkotika skala intern, pembunuh bayaran. Sekarang kau malah melakukan sandiwara teater menjadi seorang istri biliuner? Kau bercanda, ini bukan Hideyoshi yang selama ini kukenal."

"Bicara yang sopan. Kau mau kuhajar sampai mati, hah?!" Jungwon mengancam sembari memposisikan tangannya seperti ingin menampar wajah Taki.

"Berapa harga nyawamu?" Taki meraba kantung dalam jasnya dan mengeluarkan sebilah pisau runcing yang masih ditutupi.

"Kau hitung saja biaya pemakamanmu sendiri," sahut Jungwon sarkas. "Kau mau melawanku padahal sudah tahu separuh catatan kelam pekerjaanku. Bukankah itu terdengar konyol?" Ia tersenyum miring.

"Jangan sombong hanya karena kau tahu sebagian kecil hidupku, Taki. Aku jauh lebih gelap dari apapun yang kau bayangkan." Jungwon mengembuskan napas panjang. Tangannya terangkat menunjuk pintu ruang rawat inap VVIP yang separuh terbuka. Mengisyaratkan agar pemuda itu pergi.

Taki tertawa kecil. Bukannya menyerang seperti apa yang terlintas di pikiran Jungwon, pemuda itu malah menyodorkan pisau di tangannya pada yang lebih tua. Jungwon hanya bergeming ketika tangannya dipaksa menggenggam erat pisau Taki. Pemuda itu tak mau menjelaskan apapun atas perilakunya yang menyebalkan dan kurang ajar. Tatapan mata Jungwon ingin bertanya lebih jauh, tapi ia memilih tetap diam dan menunggu.

"Kau akan membunuhnya dengan tanganmu sendiri. Pisau ini hanya perantara maut, karena nyawa Jay sudah ada dalam genggamanmu."

❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜

footnote:

Fyi, draft Heathcliff udah 30 lebih ... tapi bab sebelumnya sepi mulu, males jadinya wkwk. Makasih lima ribu pembacanya 🤍

Heathcliff & Mortal ; JaywonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang