this forty seven (END)

1.7K 181 16
                                    

Masih ada epilog, ya. Jangan dibuang dulu dari perpustakaan :(

Jungwon pov

Kursi roda yang aku duduki terus didorong oleh Ayah dengan perlahan. Aku bisa memandang sekeliling ketika kami melewati lorong-lorong menuju lift. Aku benci ini. Aku benci tubuhku yang terasa lemah, aku benci pakaian steril rumah sakit yang membalut tubuhku sekarang. Aku juga lebih membenci kenyataan bahwa suamiku hampir saja kehilangan nafasnya di sini.

Ayah menekan tombol turun, itu berarti ruangan tempat Jay dirawat ada di lantai bawah. Ayah bilang, Fuma dan Yuma bertugas mengawasi ruangan tempat Jay dirawat sembari menunggunya siuman. Aku merasa jauh lebih tenang, tak bisa kupungkiri perasaan lega karena Jay mampu bertahan dari insiden berdarah semalam.

"Jungwon," panggilnya saat kami sudah memasuki lift yang kosong. Ayah menekan tombol lantai tiga.

"Ya?" Aku menyahut, tapi sama sekali tidak menoleh ke arahnya.

Ayah menghentikan aktifitasnya. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Jika kau marah pada takdirmu, lampiaskan saja pada Ayah."

Aku menundukkan kepala dan membuang nafas panjang. Gelengan kepala aku berikan entah sebagai jawaban atau gestur penolakan atas perkataan barusan. Aku memegang lengannya, mencoba mengatakan bahwa aku tak ingin membahas permasalahan hidupku sekarang. Emosiku tak stabil akhir-akhir ini, aku takut nantinya akan kembali menangis tanpa alasan yang jelas.

Kami kembali menyusuri koridor. Ayah tak banyak bicara, dia lebih diam ketimbang sebelumnya. Hingga kami tiba di ruangan Jay pun dia tak mau bicara apa-apa. Aku mengatakan padanya agar meninggalkanku sendirian. Dia bisa pergi sarapan selama aku menghabiskan waktu berdua saja dengan suamiku. Yah, dan lagi-lagi Ayah tak keberatan dengan permintaanku. Aku bersyukur untuk itu. Mungkin dia mencoba mengerti posisiku.

"Jika kau butuh bantuan, ada Fuma dan Yuma di depan. Jangan coba-coba bangkit dari kursi roda sendirian." Dia mempringatiku. Aku mengangguk singkat dan menyunggingkan senyuman padanya, bermaksud agar dia tak perlu khawatir berlebih dan cepat meninggalkan kami.

Gema dentingan jam dinding mengudara penuh. Aku bahkan bisa mendengar decitan dari kursi rodaku saat tanganku mendorongnya lebih dekat ke arah ranjang yang ditempati oleh Jay. Saat netraku bertubrukan dengan matanya yang masih terpejam rapat, mau tak mau aku harus kembali menguatkan diri dan juga menata perasaanku yang lebur di permukaan.

"Jay.." Panggilan itu malah terdengar lirih. Padahal aku sudah mencoba yakin kalau aku bisa menghadapi situasi ini.

Aku tidak marah pada siapapun, bahkan pada Junhui yang sudah membohongi publik dengan citra baiknya. Aku tidak tahu. Aku tak akan pernah tahu bagaimana tanggapan orang-orang soal pernikahan kami, apa mereka bisa menerimanya atau tidak ... karena sesungguhnya aku tak peduli.

Tanganku menyentuh lengannya. "Maafkan aku." Aku membenci diriku sendiri. Seribu permohonan maaf pun rasanya kurang dan terlalu menjijikkan jika diucapkan oleh mulut pendosa sepertiku.

Semakin lama aku tinggal bersama dengan Jay, aku semakin merasa bersalah karena ada begitu banyak kesialan yang terjadi padanya.

Cepat atau lambat, aku harus mengatakan semuanya, bukan? Fakta bahwa sebentar lagi dia akan menjadi seorang Ayah ... tadinya aku memang akan segera memberitahu Jay. Aku hanya sedang mencari waktu yang tepat.

"Kau terluka dan berjuang di ambang kematian hanya karena melindungiku." Suaraku terdengar pengar. Ah, sialan. Rasanya masih saja menyakitkan seperti semalam. "Maafkan aku." Sekali lagi aku mengambil tangannya. Menggenggamnya erat, ingin menyalurkan kehangatan.

"Maaf karena sudah berbohong soal Ayahmu."

Tercipta jeda yang begitu lama. Membuat ruangan ini hanya diisi oleh suara jam yang berdenting dan monitor di sebelahku yang menunjukkan grafik naik dan turun secara normal. Pernikahan kami sejak awal memang dipenuhi kebohongan.

"Aku salah karena tidak mengatakan yang sebenarnya padamu sejak awal."

Nicholas mengatakan padaku bahwa Taki telah menceritakan kejadian malam itu kepada Jay. Adegan dimana aku ditugaskan menembak Tuan Ilsung serta Jay dan juga Junhui. Aku paham jika Jay sempat marah, atau bahkan tak mau lagi menemuiku. Nicholas benar-benar menceritakan segala sikap Jay. Aku sepenuhnya mengerti. Pasti begitu sulit bagi Jay mempercayaiku seperti dulu.

"Aku hanya berpikir.." Aku tersendat, genangan air mata terus berebut keluar. "Apa yang bisa kulakukan untuk lepas dari rasa bersalah yang kumiliki?"

Namun, pada kenyataannya, bukan aku dalang penembakan Tuan Ilsung. Itu semua diluar kendaliku. Aku hampir melakukannya, tapi tak sempat karena sepupuku merebut senjataku. Kalian tidak akan mengerti, dan mungkin akan tetap melihatku sebagai pembunuh Tuan Ilsung. Aku tidak akan mengelak, atau marah. Ujungnya memang semua penderitaan Jay adalah kesalahanku.

"Jadi, aku memilih untuk tetap merahasiakan kehamilanku karena takut kau tidak mau mengakuinya ... aku juga menghabisi mereka yang punya potensi mencelakaimu di kemudian hari."

Aku mendongak ke atas, menghalangi air mata yang berjatuhan pada pipiku. "Setelahnya, aku akan mengakhiri hidupku, Jay. Mengakhiri semua sandiwara dan topeng yang aku pakai saat bersamamu."

Kepalaku pening. Seharusnya aku mempertimbangkan ucapan Ayah soal kondisi tubuhku yang masih lemah, tapi aku begitu keras kepala untuk mengunjungi Jay. Aku menutup wajahku dengan satu tangan.

"Pada akhirnya aku sadar bahwa hal itu salah." Pandanganku memburam lagi, nafasku memburu.

"Padahal sebenarnya aku hanya kesepian. Aku takut kehilangan semua kebahagiaan sederhana yang kumiliki saat bersamamu. Aku lebih takut kehilanganmu, daripada mengorbankan perasaan cintaku."

"Aku merasa seperti sudah merenggut kehidupanmu." Hidungku berair, aku mengelapnya dengan tergesa.

"Semakin aku mengatakan semua ini, ternyata rasanya tambah menyakitkan, ya?" Isakan yang awalnya kecil itu kini malah membuat nafasku sesak bukan main.

"Terima kasih." Aku mengusap punggung tangannya lembut. "Terima kasih karena sudah menemani sisa hidupku yang hancur dan menggantinya dengan kebahagiaan," ujarku tulus.

"Segeralah bangun. Kau bilang kita akan menjaganya bersama-sama. Aku menagih janjimu."

Aku tersenyum manis dan tertawa kecil, memelankan suaraku yang begitu sendu. "Kau harus segera bangun untuk kembali menciumi wajahku."

Mungkin semua hal yang aku katakan terdengar konyol. Sebelum bertemu Jay, hidupku hanya dipenuhi kegelapan. Secercah titik terang pun tak dapat aku temukan saat berusaha merangkak menggapai terang. Namun, ternyata hanya dengan pengakuan cinta dan segala perhatian kecil yang lelaki itu berikan, aku bisa bernafas seperti dilahirkan kembali.

Hal konyol yang kumaksud ialah, perasaan klasik yang kami miliki membuatku lebih merasa hidup daripada harta, atau kekuasaan yang selama ini aku miliki. Aku mengerti sekarang. Terkadang kebahagiaan itu ada pada hal-hal kecil yang bermakna dan tidak memerlukan banyak perdebatan.

Aku mengerti bahwa cinta bukan hanya perihal mengalah dalam argumentasi, atau mengorbankan kebahagiaan dan kebebasanku sebagai manusia. Cinta yang baik akan membuatku tumbuh dan berkembang jika jatuh pada orang yang tepat.

Dan, aku bahagia karena cintaku berlabuh pada sosok Jay Park.

E N D I N G
Heathcliff ; Jaywon (✓)

Heathcliff & Mortal ; JaywonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang