Vote dan komen!
❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜
Catharina dibuat geleng-geleng kepala saat mengetahui menantunya tengah menikmati sebatang rokok di teras kamar anaknya sendiri. Bagaimana bisa Jay membiarkan sosok kurang tata krama seperti itu menjadi istrinya? Catharina mendambakan menantu yang berpendidikan tinggi, bertutur bahasa lembut nan sopan, juga berpola pikir dewasa sehingga bisa membantu Jay mengembangkan perusahaan, bukannya sosok asing penuh aura negatif seperti orang di depannya ini.
"Kau merokok?"
Pemuda itu mengangguk santai, menyodorkan sebungkus rokok pada Ibu mertuanya. Catharina menggeleng. "Sebutkan satu hal yang membuatmu berhenti merokok."
Jungwon yang tadinya terus membuang muka sembari melepaskan asap bekas nikotin sontak menoleh. "Uang." Satu kata itu seharusnya tak perlu keluar dari bilah bibirnya, Catharina juga pasti sudah tahu apa yang ada dalam benak orang-orang terbelakang.
Catharina merogoh saku dan mengeluarkan dompetnya, mengambil sebilah kartu dari dalam sana lalu memberikannya pada Jungwon tanpa ada keraguan. "Uang di dalam sini untuk satu minggu, minggu depan aku akan mengirimkan nominal yang sama."
"Berapa?" tanya Jungwon menginjak puntung rokoknya di lantai, tangannya masuk dalam kantung celana guna mencari kehangatan.
"Seratus," jawab Catharina langsung.
"Juta?" Jungwon memandang remeh kartu debit pemberian Ibu mertuanya, meski begitu ia tetap mengambil dan mengantonginya dengan enggan. "Hanya segini? Saat aku belum menikah dengan anakmu, aku bisa mendapat sepuluh kali lipatnya dalam satu minggu."
"Pekerjaan apa yang bisa menawarkan keuntungan sebanyak itu?" Catharina bertanya penasaran. Lebih tepatnya ia hanya mengetes kejujuran menantunya.
"Aku membunuh orang jika dibayar. Kau mau jadi klienku?" sahut Jungwon menampilkan raut wajah polos.
"Jungwon, aku bertanya serius."
"Kau lihat wajahku, Ibu? Apa aku terlihat bercanda?" Jungwon menekankan kata Ibu agar Catharina sadar jika dirinya sekarang bagian dari keluarga Park. Mau seburuk apapun latar belakangnya, ia tetaplah istri Jay.
"Astaga! Ya Tuhanku! Bagaimana kau bisa mempertemukan anakku dengan pasangan hidup sepertinya?! Ini takdir buruk!" Catharina mendecak dan terlihat geram atas tingkah laku Jungwon yang malah asyik bersandar pada pagar balkon.
"Kau bicara apa? Telingaku berdengung." Ia mengusap-usap daun telinganya untuk mengejek.
"Anakmu yang memohon padaku agar tinggal lebih lama di rumah ini dan tetap di sisinya. Aku hanya kasihan, kalau kalian mau, aku bisa pergi sekarang juga tanpa pernah kembali." Jungwon malah menawarkan opsi menarik yang saling menguntungkan.
Plakk!
"Ya, tentu, lakukan saja semaumu!" Tangannya melayangkan tamparan pedas pada pipi menantunya. Jungwon tertoleh ke samping namun urung membalas penghinaan barusan. Ia malah terkekeh kecil lalu memegang sekilas bagian pipinya yang terkena tampar.
"Jay ... Ibumu menamparku sampai begini. Apa aku boleh membalas tamparannya?" tanya Jungwon dengan wajah dibuat kesakitan dan memohon belas kasih.
Jay menghampiri istrinya, membetulkan posisi baju yang dikenakan Jungwon dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Udaranya dingin di luar sini. Masuklah ke dalam, aku yang akan membuat Ibu mengerti." Ia membubuhkan ciuman singkat pada bibir Jungwon sebelum mendorong sedikit tubuh pemuda itu agar masuk ke dalam kamar.
Jungwon menahan gerak tubuhnya dan malah berbalik ke arah Jay. Meraih tengkuk suaminya lalu menyesap bibir bagian bawah Jay tanpa harus meminta izin kepada orang lain yang juga berada di sana. Jay membalas lumatan Jungwon beberapa kali kemudian memutus ciuman mereka dengan segera sebelum dia malah kehilangan kontrol diri. Ia meraih jemari tangan Jungwon, lalu ia tuntun kembali menuju kamar tanpa basa-basi.
"Kau tak perlu kasar begini." Jungwon berusaha menahan pergerakan Jay.
"Kita baru saja menghabiskan banyak waktu bersenggama kalau kau lupa. Kau menyatakan cinta padaku, tapi sekarang kau memperlakukanku seperti pelayan." Rupanya ia adalah sosok yang banyak sekali bicara ketika saling mengenal.
"Aku harus bicara pada Ibuku. Semoga tadi kau tak banyak membuat masalah. Dia sangat membenci orang yang bersikap seenaknya." Jay berujar apa adanya.
Catharina mendidiknya dengan sangat keras. Jay dulu mengikuti les berkuda, menembak, berenang, biola, dan melukis. Belum lagi tambahan les akademik untuk bahasa Inggris, Mandarin, dan Prancis. Jay banyak berjuang untuk itu, dan ia tak mau jika Catharina malah mempertanyakan pengorbanannya selama ini hanya karena kedatangan Jungwon.
"Wah, kalau begitu ceraikan saja aku sekarang. Tak ada gunanya juga kita melanjutkan pernikahan ini. Kedua pihak keluarga bahkan menentang kuat, untuk apa kita terus bersama?" Semudah itu, kalimatnya bukan hal rumit.
"Kau bicara seolah hanya aku yang menjaga ikatan ini. Bibirmu sudah mendesahkan namaku berapa kali? Kau menikmatinya, hubungan ranjang kita—"
"Kau pikir aku hanya mendesahkan namamu, Jay?" Jungwon menyela.
"Astaga, payah sekali. Sebelum denganmu, aku sudah melakukannya dengan orang lain. Aku tak semunafik itu untuk bilang kau adalah yang pertama." Lagi dan lagi Jungwon memberikan tamparan telak yang menghujam jantung Jay lebih dalam. Pemuda itu jujur, terbuka, tapi penuh kegilaan.
Orang-orang berpikiran gila tak akan mengakui jika dirinya hilang akal, mereka berbaur dalam lapisan masyarakat dan menjadi pemeran utama dalam setiap drama kehidupan yang tercipta. Memutar balikan fakta, membuat seseorang merasa bergantung, punya jutaan trik mempermainkan perasaan, serta memiliki tatapan mata manipulasi. Semuanya adalah hari-hari normal.
Karena sesungguhnya hanya ada dua pilihan dalam psikologis kita. Ingin menjadi orang pintar yang jahat, atau bodoh yang baik?
Biasanya orang pintar yang melakukan kejahatan akan terlihat agung dan semakin berkuasa. Kejahatan yang dibarengi kepintaran takkan menunjukkan kebodohan dan pengorbanan besar. Lain halnya jika orang baik yang melakukan kebaikan, sangking baiknya mereka sampai hanya berbeda tipis dengan orang-orang bodoh yang dikucilkan.
"Jika aku bukan yang pertama, maka aku pastikan akan jadi yang terakhir untukmu." Jay berujar yakin, Jungwon tertawa lepas dan menatap Jay begitu rendah.
"Kau membuat pekerjaanku jauh lebih rumit. Apa kau yakin bisa mewujudkan impian kecilmu itu, Jay Park?"
"Kenapa tidak?"
Jungwon menghela nafas gusar sebelum berujar, "hidup kita bukan video game yang menyenangkan. Sebelum sempat menyelesaikan tiap babak sandiwara ini, kita bisa mati. Tetapi, kita diberi kesempatan untuk mencobanya. Aku selalu memikirkan kematian ketika menjalani pernikahan ini, apa kau pernah sekali saja membayangkan bagaimana kau akan mati?"
"Mengapa manusia selalu meremehkan kematian?" Ia menyambar bungkus rokoknya di atas meja rias, memantik api dari korek lalu mulai menyesap batang nikotin itu dengan nikmat. "Aku tak bisa membawa cintamu saat mati, Jay. Berhentilah membual soal perasaan itu."
Jay mengambil rokok di bibir Jungwon menggunakan jemarinya lalu ikut menyesap puntungnya. "Kalau aku tekankan sekali lagi jika aku sungguhan mencintaimu, bagaimana?"
"Memangnya apalagi? Tanpa pisau atau pistol, nyawamu sudah ada di tanganku."
Jungwon selalu membawa-bawa kematian di tiap topik perbincangan dengan suaminya. Namun, Jay selalu punya cara untuk membalas perkataan istrinya. Peraduan argumen ini akan semakin panas dan sia-sia jika terus dilanjutkan serta tak ada yang mau mengalah.
"Jika kau bisa tertawa di atas mayatku, pasti kau juga bisa mendengar tawaku saat aku mati."
❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜
footnote:
Heathcliff engga sampe 50 chapter btw, hehehehe 🙏
Chapter depan situasinya panas, gais. Mamih Catharina bakal adu argumen sama Jaywon 🤟
KAMU SEDANG MEMBACA
Heathcliff & Mortal ; Jaywon
Fiksi Penggemar(Season 1: Heathcliff & Season 2: Mortal) *** (S1: END) Selain bertugas sebagai agen sindikat penjualan obat-obatan terlarang, Jungwon juga lihai dalam hal mengiris daging setipis mungkin. Tak peduli apakah itu daging ikan, sapi, atau manusia sekal...