❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜
"Jay, tatap mataku." Jungwon mengarahkan kepala Jay agar mau berhadapan dengannya.
"Hidupku dipenuhi berbagai macam masalah, tak ada jalan keluar untukku meski aku sudah melakukan seribu kebaikan." Matanya berkaca-kaca, suaranya dalam namun mengandung rasa sakit di tiap tarikan nafas.
"Aku ... sepenuhnya siap untuk mati. Hanya saat bersamamu aku merasa hidup, tapi aku tidak ingin memohon padamu untuk kehidupan itu."
Jay menggenggam kedua tangan istrinya, mencium punggung tangan Jungwon dalam durasi yang lama. "Aku mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu. Jika saja tadi terjadi sesuatu yang buruk, bagaimana bisa aku melanjutkan hidup ini?"
Jungwon menggeleng. "Kau tidak perlu mengkhawatirkanku."
"Apa maksudmu?"
Jungwon merebut pistol yang ada di dalam saku Jay dan mengarahkannya tepat pada pelipisnya sendiri. "Aku akan mengakhirinya."
"Jungwon!" Jay berteriak marah. Ia menggertakkan gigi. "Turunkan senjatamu. Kau sudah bertindak sejauh ini untuk membelaku dan juga anakmu, tapi kenapa sekarang kau menyerah?!"
Jungwon menarik nafas panjang. "Pamanku sudah mati, sepupuku juga, kontrak kita bahkan telah berakhir beberapa hari yang lalu. Aku membuatmu kritis, menodai nama baik keluargamu, juga menjatuhkan bisnismu. Tak ada alasan baik untuk kita tetap bersama ... kau tidak bisa terus menyangkal kenyataan bahwa saat bersamaku, hanya akan terjadi kesialan dalam hidupmu."
"Kau ingin alasan?" Jay mengulang pernyataan Jungwon dengan raut kecewa.
"Baiklah, mari kita buat ini mudah. Sekarang kau sedang hamil, dan dia adalah darah dagingku. Aku punya kewajiban untuk mencukupi kebutuhannya dan memastikan kalian bahagia. Apa alasan itu cukup? Kau perlu alasan seberapa banyak?" tantang Jay dengan pipi yang juga basah.
"Jangan mengorbankan apapun lagi. Aku mencintaimu, tapi aku lebih bahagia jika kau tak menyia-nyiakan masa depanmu hanya demi orang rusak sepertiku."
Jay terdiam, dia menggeleng pelan dan kehabisan kata-kata. Hidungnya memerah. Akhirnya Jay kelepasan satu isakan pelan, dibarengi dengan tawa hambar khas orang putus asa. "Aku kecewa padamu. Aku membencimu, Jungwon."
"Kalau dengan membenciku kau bisa melupakanku, lakukan sepuasmu."
Jay membuang muka ke arah lain untuk menyembunyikan wajahnya yang sembab.
Fuma, Yuma, dan Nicholas sudah mengurus mayat-mayat tadi untuk dibakar atau ditimbun dalam satu kubangan tanah. Sebentar lagi pasti mereka kembali. Kalaupun ada pihak aparat setempat yang memergoki, pasti Kei bisa mengatasinya secara bersih tanpa jejak. Hukum negara bukanlah ancaman serius bagi para pemegang pion dunia bawah.
"Sekarang aku mengerti. Jika kau begitu keras kepala ingin mati, maka aku juga bisa bersikap seenaknya untuk memintamu hidup, kan?"
Jungwon mengulum bibirnya ke dalam. "Maaf ... kumohon, Jay. Aku tidak bisa melanjutkan sandiwara ini."
Jay memejamkan mata. Terdengar helaan nafas berat. "Apa boleh aku mengelusnya?" Tatapannya sekarang beralih pada perut istrinya.
"Aku mohon, Jung. Bagaimanapun, aku adalah Ayahnya." Gerak-geriknya terlihat mencurigakan. Sepertinya ada yang sedang Jay tutupi.
Tak ada jawaban. Namun, Jay tahu kalau itu berarti Jungwon mengizinkannya melakukan hal tersebut. Ia mendekat, sekali lagi memeluk erat tubuh Jungwon. Jay tahu ada yang janggal. Tangannya menyusup ke dalam balik jaket istrinya. Mengelus perut yang mulai membuncit itu dengan penuh kasih sayang. Senyuman merekah juga tak luput dari bibirnya ketika telapak tangannya menyentuh permukaan perut Jungwon yang dingin.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri atas hal yang bukan kesalahanmu. Kau tak bisa terus-terusan hidup dalam perasaan bersalah, Jungwon. Mulailah menata kepercayaan baru terhadap denyut kehidupan di dalam perutmu."
Jay mendadak merubah posisinya dengan memeluk Jungwon dari sisi belakang. Itu bukan sebatas pelukan perpisahan. Ia berbisik pelan, "aku ingin kau berjanji.."
Dorr!
Dorr!Dua letusan peluru nyaris berbarengan. Memecah keheningan ruang yang tadinya senyap tak bersisa. Waktu seolah melambat dan mengejek Jungwon yang memang teringin mengakhiri hidupnya.
Nahas, bukan dirinya yang tertembak.
"JAY!"
Lagi-lagi lelaki bodoh itu selalu saja mengorbankan diri. Jay menggunakan tubuhnya untuk menghalau peluru yang seharusnya mendarat pada punggung istrinya. Rupanya itu alasan mengapa tiba-tiba Jay memeluk tubuh Jungwon dari belakang. Ini semua mulai terasa logis.
"Jay, bicara padaku." Ia mengguncang tubuh Jay dalam dekapannya.
"Jay?" Tangannya berusaha menekan pendarahan di punggung suaminya.
"JAY BUKA MATAMU!"
"Jay Park?" Sama sekali tak ada jawaban. Jay masih terpejam tenang.
"Jay ... kumohon tetaplah bersamaku!" Kali ini Jungwon sungguhan menangis deras.
"NICHOLAS!! CEPAT PANGGIL AMBULANS!!"
Seolah bukan masalah jika pihak medis melihat situasi rumah yang kacau balau. Jungwon kehilangan akal. Tak ada yang dihiraukannya selain keselamatan Jay. Ayahnya pasti bisa mengurus agar para perawat ini tidak membocorkan informasi keluarga Koga ke publik.
"Jay, ambulans sebentar lagi tiba, kau pasti baik-baik saja." Jungwon memeluk leher Jay dan terus menangis. Ia begitu munafik saat menyuruh Jay pergi dari sisinya, namun sekarang menangisi keputusan lelaki itu.
"Jay, bertahanlah!" Yuma berusaha menenangkan Jungwon saat tubuh Jay dibawa naik ke atas ambulans menggunakan brankar.
"Bantuannya sudah datang. Jangan menyerah ... kau bilang begitu bahagia saat tahu aku hamil anakmu.. Ya, kalau begitu berjuanglah untuk tetap hidup dan kita akan merawatnya bersama-sama."
"Maafkan aku. Maaf.. Aku tidak bermaksud memintamu pergi." Ia meraih satu tangan Jay dan menautkan jari-jari mereka.
"Aku mencintaimu, Jeongseong. Aku mencintaimu ... kau tak boleh meninggalkanku sendirian." Ia bergumam sesenggukan, nafasnya terasa begitu sesak.
"Aku ada di sini, kau sudah melakukan yang terbaik." Jungwon mengusap wajah Jay sementara para tenaga medis mulai sibuk memberi penanganan pertama di dalam ambulans.
Bohong. Jungwon hanya berpura-pura saat mengatakannya. Ia menertawai nasibnya dibarengi isak tangis yang kian terdengar memilukan. "Jangan tinggalkan aku. Aku takut. Jangan tinggalkan aku, jangan ... kau bisa. Jangan tinggalkan aku, Jay."
Jungwon juga diberikan tindakan. Lengannya yang tertusuk pisau diobati. Seorang perawat memasangkan ambubag untuk membantu Jungwon bernafas seraya menghitung tekanan nadi pemuda itu yang begitu rendah.
"Cobalah bernafas dengan dalam dan tenang." Jungwon terisak namun terus mencoba bernafas sesuai anjuran perawat.
"Ya, bagus. Begitu ... tetaplah bernafas seperti itu. Kau juga harus memikirkan nyawa lain di dalam perutmu."
"Aku tidak apa-apa. Kalian fokus saja menghentikan pendarahan suamiku. Dia harus selamat!"
"Kami sudah melakukan semua yang kami bisa. Ada dua peluru yang bersarang pada punggungnya. Salah satunya berhasil menembus organ dalam. Semua akan ditangani saat kita sampai di rumah sakit."
Jungwon tak mampu lagi bicara. Ia hanya terus menggenggam jemari Jay dan menguatkan diri jika Jay pasti akan baik-baik saja. Kepalanya pening bukan main, pandangannya memburam. Perutnya terasa sakit seperti ditekan dari dalam.
"Jika kau marah padaku karena menyuruhmu pergi ... aku mohon bertahanlah demi anakmu. Kau menantikannya selama ini, kan? Bertahan, Jay.. Aku hancur melihatmu terluka."
❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜
footnote:
Ending di chapter 47. Sudah siap dengan segala kemungkinan baik dan buruk? :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heathcliff & Mortal ; Jaywon
Fanfiction(Season 1: Heathcliff & Season 2: Mortal) *** (S1: END) Selain bertugas sebagai agen sindikat penjualan obat-obatan terlarang, Jungwon juga lihai dalam hal mengiris daging setipis mungkin. Tak peduli apakah itu daging ikan, sapi, atau manusia sekal...