❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜
—Jungwon pov—
Sirine ambulans terdengar begitu nyaring membelah keramaian jalan. Sebagian besar mobil yang berlalu-lalang langsung menepi memberikan ruang untuk kami melintas mendahului mereka. Gerimis di luar, jalanan basah oleh hujan. Suara gemercik air dan monitor di sampingku seolah berebut menunjukkan siapa yang tercepat.
Aku merasa aneh. Kurasa aku sakit, tapi aku tak bisa merasakan dari bagian tubuh mana sakit itu berasal. Aku lelah, sama sekali tak ingin melakukan apapun termasuk bicara pada perawat soal kondisiku. Kurasa ... sebagian diriku hancur berkeping-keping saat melihat darah yang terus mengalir dari punggung Jay.
Ada yang terus menekan hatiku sampai aku tak hentinya menangis terisak seperti ini. Sangat sesak rasanya. Hatiku sakit, sungguh. Aku takut Jay meninggalkanku sendirian. Baru kali ini aku begitu takut melihat kematian, takut melihat darah yang mengalir di tanganku, takut untuk kembali merasakan sepi seperti dulu.
Lagi-lagi aku harus menjulurkan tangan untuk mengelap sudut bibir Jay yang terus mengeluarkan cairan kental merah pekat itu. Perawat di sampingku terus mencoba menenangkan kegundahan hatiku dengan mengatakan bahwa Jay pasti bisa bertahan sampai kami tiba di rumah sakit terdekat. Tapi, itu tak cukup. Aku masih saja menangis tersedu-sedu sambil menggumamkan namanya.
Jay ... kau bilang bahwa kau begitu mencintaiku dan tak bisa hidup tanpa diriku, tapi kau justru malah membiarkanku memohon padamu agar bertahan. Bangunlah dan buktikan pernyataan cintamu, sialan kau!
"Jay, kau akan baik-baik saja. Kita sudah di rumah sakit sekarang. Kau bisa bertahan sebentar lagi, kan?"
Brankar terus didorong oleh para perawat sementara aku harus menyamakan langkah dengan mereka yang tergesa-gesa membawa Jay pada unit gawat darurat. Wajah Jay pucat, aku bahkan bisa merasakan dingin dari telapak tangannya saat bersentuhan dengan jemariku. Bekas aliran darah dari mulutnya masih tersisa.
"Jay!" Aku memanggilnya entah untuk ke berapa kali. "Jay, bertahanlah." Tanganku menyentuh wajahnya sekali lagi.
Dingin. Aku semakin terisak karena takut akan kemungkinan terburuk. Aku urung melepas tanganku yang ada pada tangannya. Sambil berlarian aku mencoba memfokuskan pandangan yang tadinya buram dan berkunang.
"Jay, dengarkan aku ... jangan menyerah sekarang." Kepalaku pusing, kakiku lemas namun aku terus memaksa diri berlarian menemani Jay yang terbujur di atas brankar.
"JAY!" Kali ini nada suaraku meningkat. Aku kehabisan akal sebagai manusia. Aku sangat takut. Ada begitu banyak hal yang ingin aku bagi dengannya. Mungkin kami juga harusnya bahagia.
Fuma dan Yuma berdiri di belakangku, mereka berjaga-jaga jika saja mendadak aku tumbang ke belakang. Aku tidak tahu bagaimana rupa tubuhku sekarang, aku juga tak peduli untuk itu. Saat ini yang aku pikirkan hanyalah nyawa Jay.
Orang-orang pasti langsung mengira kami buronan polisi atau korban percobaan pembunuhan. Sebenarnya aku tahu jika sekarang seluruh wajah, tangan, sampai pakaianku pun bersimbah darah. Itu bukan darahku. Sebagian besarnya adalah darah mereka yang aku bunuh, dan mungkin juga telah bercampur darah Jay di dalamnya.
Brankar itu memasuki ruangan, aku hendak masuk jika saja seorang perawat tidak berdiri menghalangi langkahku sambil berkata, "tolong tunggu di luar." Sementara rekannya yang lain mulai menutup pintu rapat-rapat dan membiarkan kami bertiga menunggu tanpa adanya kepastian. Aku kehilangan sebagian besar tenaga hingga berlutut di lantai sambil memegangi perutku yang rasanya seperti ditusuk duri tajam.
"Jay," gumamku terakhir kalinya karena tak sanggup lagi bicara. Yuma ikut berjongkok di sebelahku dan mengusap-usap punggungku, Fuma memapah tanganku di bahunya untuk diarahkan pada kursi tunggu yang tersedia.
"Jay akan baik-baik saja. Percaya padaku." Entah darimana mereka mendapatkan sebotol air mineral. Yuma membukakan tutupnya dan mengarahkan air di dalamnya perlahan ke dalam mulutku.
Aku tak mau menanggapinya. Aku memejamkan mata lalu menutupi telingaku dengan kedua telapak tanganku yang masih berhiaskan bercak darah kering. Aku menggeleng sadis, mulutku masih saja mengeluarkan isakan. Aku benci mendengar suara-suara penenang dari mulut mereka, itu tak berguna. Perasaanku tetap saja mengatakan kalau ini semua adalah kesalahanku.
Jay tak seharusnya menderita. Aku akar dari segala permasalahan hidupnya yang tak kunjung reda. Aku yang mendatangkan badai dalam garis takdirnya dan membuat nyawanya di ambang kematian. Kekacauan ini tidak akan terjadi jika saja Jay tak menikahi seorang pecandu sepertiku. Aku adalah sosok yang sangat pantas disalahkan dalam kasus ini.
Aku memukul kepalaku sekali dan menjambak rambutku kuat-kuat. Yuma menghalangi tanganku yang ingin bertindak lebih jauh dengan memeluk tubuhku dan mengunci pergerakan tanganku dengan seluruh tenaga yang dia punya.
Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku cintai terus-menerus.
"Kalau Jay meninggal, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri."
Fuma menepuk pundakku dan tersenyum tipis. "Jangan berpikir begitu. Itu bukan salahmu."
Yuma menggenggam tanganku begitu erat. "Memang benar kalau dulu kami marah padamu karena tak mau menuruti perintah ketua. Tapi, sekarang aku sudah mengerti. Betapa sulitnya membuat pilihan antara mempertahankan cintamu, atau menyelamatkan nyawanya."
Fuma menganggukkan kepala pertanda ia setuju dengan ucapan Yuma. "Sejujurnya, jika aku jadi kau, belum tentu aku mendapat keberanian sebesar itu untuk menentang klanku sendiri. Kau luar biasa."
Aku menutupi wajahku yang begitu sembab dan memerah.
"Jungwon."
Aku mengerjab dan mendongak ke atas. Kutemukan sosok Nicholas yang baru saja tiba dengan kondisi yang tak jauh berbeda seperti kami bertiga. Dia menunduk dan bersimpuh di hadapanku sembari menggumamkan kata maaf berkali-kali. Ia mengambil kedua tanganku. Meski tak menangis, tapi aku tahu dia juga merasa hancur.
"Ini semua salahku. Aku yang membawa Jay pada permasalahan ini. Aku memberitahukan kabar kehamilanmu, sehingga dia keras kepala ingin datang dan mengajakmu pulang."
Sambil menahan isakan, aku akhirnya menjawab, "itu bukan salahmu."
Aku menggerakkan tubuhku agar Yuma mau melepas pelukannya. "Aku tahu kalian sudah berusaha semaksimal mungkin membantuku. Ini diluar perencanaan kita. Jika ada yang patut disalahkan, orang itu adalah aku."
"Tidak, Jung. Karena kelalaianku Jay bisa tertembak. Aku seorang pengecut. Aku lengah akan kemungkinan bahwa keluarga Jay punya potensi paling besar mengkhianati. Pelakunya adalah orang yang kalian kenal dengan baik," sambung Nicholas menatap mataku lamat-lamat.
"Siapa maksudmu?" Aku bertanya. Sebetulnya aku langsung menyimpulkan nama seseorang saat Nicholas berucap 'Keluarga Jay' karena suamiku hanya mempunyai satu saudara dan seorang Ibu.
"Aku sangat menyesal. Harusnya aku menghentikannya sejak lama. Kumohon maafkan aku. Kau bisa melakukan apapun padaku. Kau boleh memukul atau menembakku jika itu membuatmu lebih tenang, Jungwon."
"Nicholas. Siapa?"
Aku bertanya lagi. Nada suaraku terdengar dingin juga menuntut jawaban. Ini adalah alasan mengapa aku begitu sulit mempercayai manusia. Mereka bersikap baik di depan, namun mempunyai hati yang berkali-kali lipat lebih busuk daripada iblis.
"Jun, Junhui Park. Dia adalah satu-satunya tersangka penembakan suamimu."
—Jungwon pov end—
❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜
footnote:
Kumpul sini, absen dulu yang ketipu akting junhui 🙂
Satu chapter lagi, abis itu ending, terus epilog deh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Heathcliff & Mortal ; Jaywon
Fanfiction(Season 1: Heathcliff & Season 2: Mortal) *** (S1: END) Selain bertugas sebagai agen sindikat penjualan obat-obatan terlarang, Jungwon juga lihai dalam hal mengiris daging setipis mungkin. Tak peduli apakah itu daging ikan, sapi, atau manusia sekal...