❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜
Rasanya Jungwon ingin menangis seharian.
Ia telah menghabiskan lebih dari satu jam untuk berendam dalam bathtub, tak peduli jika luka-luka di punggungnya masih basah dan terasa perih setiap kali terkena air mengalir. Nyatanya, Jungwon tak memedulikan itu semua. Baginya yang terpenting adalah ketenangan, meski itu tidak pernah ia dapatkan bahkan jika harus mengorbankan nafasnya. Semuanya kelam, gelap, dan rancu. Tak ada tempat untuknya merasa pulang ke rumah.
Saat terbangun pagi hari tadi, ia sudah berada di salah satu rumah kepunyaan Ayahnya di negara yang sama. Tubuh bagian atasnya dipenuhi perban steril, perban yang harusnya sewarna gading itu telah berubah menjadi merah darah. Jungwon temukan pula beberapa jenis obat-obatan terlarang dan salep pereda nyeri di dalam nakas. Tak lupa Ayahnya menitipkan catatan kecil sebagai basa-basi antar keluarga. Tertulis jelas.
"Ayah sudah membantumu sebisa mungkin. Pergilah, Nak. Tidak banyak yang bisa kulakukan untuk mempertahankanmu hidup."
Kepala ditenggelamkan semakin jauh ke dalam kubangan air bertabur bunga mawar merah, Jungwon menahan nafas ketika seluruh tubuhnya berada di bawah air. Selama beberapa puluh detik kemudian ia kembali mengangkat kepalanya dan bernafas rakus. Paru-parunya kosong, hidungnya tersumbat dan rasa sakit yang mendera setiap inci tubuhnya terasa sangat menyiksa.
Drrttttt...
Dering panggilan terdengar dari kejauhan. Jungwon mengingat kembali dimana terakhir kali ia meletakkan benda berbentuk persegi panjang tersebut, ponsel keluaran terbaru yang diberikan oleh sang Ayah dengan tujuan tertentu.
"Ya?"
Jungwon keluar dari bathub dan langsung berjalan perlahan keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih-tatih. Handuk menutupi pinggang sampai pada pahanya yang sama-sama seputih gading. Ia mengelap tangan basahnya pada handuk kemudian mengambil alih ponselnya yang tergeletak di atas meja rias.
"Kau ingin kembali padanya?"
Bukannya menyapa, si lawan bicara malah langsung melayangkan pertanyaan tersirat. Meski tak menyebutkan untuk kembali pada siapa, tapi Jungwon jelas tahu arti dari pertanyaan barusan.
Jungwon menghela nafas pelan sebelum menjawab, "haruskah aku kembali jatuh dengan ajakan itu?" Ia menumpukan satu tangannya di atas meja sembari menatap pantulan tubuhnya sendiri pada cermin. Berbagai luka memar dan goresan memenuhi tiap inci kulit.
"He's waiting. You should come back, Jungwon." Suaranya terdengar menuntut dan penuh penekanan.
"Then, if I still answer with 'no' what will you do?" Jungwon menantang tanpa kenal ragu ataupun takut. Ia membetulkan posisi berdirinya dan menyisir rambutnya ke belakang. "Aku lebih nyaman sendiri," tambahnya mantap.
"Aku akan terus menekankan kalau Jay mencintaimu, sampai kau berubah pikiran." Ia terus-menerus mengutarakan pertanyaan dengan makna serupa.
Langkahnya ia bawa menjauh dari meja rias menuju lemari pakaian, membukanya dalam sekali tarikan dan mengambil sebuah baju lengan panjang sewarna grey. "Even if this earth falls, I never want come back as his wife," jawabnya tiba-tiba yang mana begitu mengejutkan.
"Benarkah?" Lawan bicaranya terus menekan Jungwon. "Ini mungkin kesempatan terakhirmu mendapatkan kebebasan. Meski Jay sangat menjengkelkan, tapi dia juga yang memberimu ruang bernafas."
"Karena itu aku tidak mau menjadi alasan kematiannya." Kalimat tadi hanya berani Jungwon ungkapkan pelan-pelan, tak mungkin ia mau membuka mulut soal keputusannya yang sok heroik
"Seseorang yang tak bisa membedakan antara kaum rendah atau penjilat, bagaimana bisa mengerti Hideyoshi Koga?"
"Tapi, Jungwon ... Jay, dia akan membebaskanmu dari keluargamu!"
"Siapa yang kau sebut keluarga? Ah, maksudmu si ketua klan dan anak-anak dari saudara Ayahku?" Jungwon menyindir sinis. "Mereka mengaku keluarga, tapi mereka yang selalu menjauhkan kebahagiaan dari hidupku. Apa pantas orang-orang seperti itu disebut keluarga?"
"Jung—"
"Dan, kau! Aku tak butuh omong kosong soal pernyataan cinta Jay, atau apapun tentangnya. Perbincangan kita selesai!"
"Hei, bocah sialan. Aku akan memberitahumu satu hal terakhir sebelum kau mengambil keputusan yang salah." Teman berbincang kurang ajarnya mulai mengambil langkah terakhir sebagai rencana cadangan jika Jungwon sulit dirayu pulang.
"Pamanmu akan benar-benar membunuhmu bulan depan jika kau tidak mengakhiri ini dengan membunuh Jay. Itu semua demi keselamatanmu, aku berada di pihakmu. Seharusnya kau percaya padaku."
"Habisi Jay dan kau akan tetap hidup, atau menjauh darinya namun kalian berdua pasti mati?"
***
"Menyerah saja. Jungwon tidak akan kembali."
Nicholas menyeruput tehnya dengan perlahan, cairan hangat itu masuk ke mulutnya dan menyebarkan kehangatan di tubuh saat mereka berada dalam ruang kerja Jay yang bersuhu rendah.
"Sekali lagi aku bertanya, darimana kau tahu?" Jay tidak meminum teh, melainkan kopi. Kerutan hitan terlihat di bawah matanya pertanda terlalu lama menahan rasa lelah dan terlelap.
Nicholas mengaduk tehnya dengan sendok logam, beberapa butiran gula masih belum terlarut sepenuhnya di dasar gelas. "Aku menelponnya kemarin lusa, dan dia bilang tak akan pernah mau kembali ke sini sebagai istrimu, bahkan jika itu adalah kesempatan terakhir sebelum bumi ini hancur."
"Sial, berani sekali dia bicara begitu padamu? Dari mana kau tau nomornya?" Jay tak akan bertanya dari mana Jungwon bisa mendapatkan ponsel. Pasti itu bukan sesuatu yang rumit bagi seseorang yang punya banyak koneksi.
"Kau percaya begitu saja?" Nicholas tertawa renyah. "Sepertinya karena terlalu sering menggunakan hati, otakmu menjadi tumpul. Jungwon belum tentu punya ponsel untuk berkomunikasi, darimana aku bisa tahu nomornya jika saja selama ini kami jarang bertegur sapa?"
"Tapi aku serius, Jay. Sepertinya Jungwon benar-benar tak akan pernah kembali. Dia punya sedikit masalah yang belum diselesaikan, mungkin kau tidak bisa melihatnya lagi."
"Brengsek, dia ingin bercerai denganku atau bagaimana?"
"Ah, begitu rupanya? Istrimu ini mempertaruhkan nyawa untuk hidupmu, tapi kau malah ingin menceraikannya?" Sosok yang dibicarakan malah asyik bersandar pada pintu sambil membuka tudung jaketnya.
Begitu Jay dan Nicholas menolehkan kepala lebih jauh agar bisa melihat si pembicara yang merupakan Jungwon sendiri, pemuda itu membuka maskernya dan tersenyum manis menunjukkan gigi putih dan mata anak kucing khas miliknya.
"Aku benar-benar merindukanmu, Jay~ Ayo peluk aku seerat yang kau bisa."
❛ ━━・❪ 𝐡 𝐞 𝐚 𝐭 𝐡 𝐜 𝐥 𝐢 𝐟 𝐟 ❫ ・━━ ❜
footnote:
Ayo dibaca ulang dari bab satu kalau lupa alurnya gimana :)
Dua chapter ke depan isinya mature, ya. Buset sekalinya ngasih 21+ nggak cuma sekilas.. kebablasan 🌝
KAMU SEDANG MEMBACA
Heathcliff & Mortal ; Jaywon
Fanfiction(Season 1: Heathcliff & Season 2: Mortal) *** (S1: END) Selain bertugas sebagai agen sindikat penjualan obat-obatan terlarang, Jungwon juga lihai dalam hal mengiris daging setipis mungkin. Tak peduli apakah itu daging ikan, sapi, atau manusia sekal...