XI. Kecewa

196 18 0
                                    

"Mereka tidak bisa mengerti, tetapi selalu memaksaku untuk mengerti" -Arjuna Barra Alvarendra .

Ajun membuka matanya perlahan, melihat ruangan bernuansa putih dan bau obat-obatan, sudah dipastikan Ajun di Rumah Sakit sekarang. Ajun menoleh pada tangan kirinya yang dipasang infus, "benar saja, aku di rumah sakit," batin Ajun.

"Berapa lama?"

Suara Dobby memenuhi ruangan itu. Ajun segera menoleh ke arah sofa, terlihat disana ada Bang Jiun, Dobby, dan Ayahnya. Ajun mengerutkan alisnya, meminta penjelasan maksud dari perkataan Dobby. Dobby mendekat ke arahnya, dengan tatapan datar.

"Berapa lama lo digituin?" ulang Dobby. Ajun masih betah terdiam, ia memainkan jarinya sekarang.

"ARJUNA BARRA ALVARENDRA!" bentak Dobby yang langsung membuat Ajun terkejut dan menatapnya dengan tatapan takut.

"Dobby udah," lerai Jiun. Ia berjalan mendekati adik bungsunya, lalu memegang tangannya.

"Masih ada yang sakit?" tanya Jiun dengan nada lembut kepada Ajun. Ajun hanya menggelengkan kepalanya, padahal badannya rasanya seperti remuk sekarang.

"Gausah bohong Jun," ujar Dobby, mungkin mulut Ajun bisa berbohong, tapi matanya tidak. 

"Sejak kapan kamu diginiin?" tanya Jiun sekarang. Ajun terdiam sejenak.

"Awal masuk SMA," jawab Ajun dengan nada yang direndahkan di akhir kalimat. Dia juga masih senantiasa menunduk, enggan menatap wajah kecewa kakak-kakaknya.

Dobby menyisir rambutnya ke belakang. "BANGSAT!" umpat Dobby.

Dobby hendak pergi namun Ayahnya segera menahannya dan menenangkan putra tengahnya itu. "Diem, tenangin diri kamu," bisik Rendra.

"Kenapa Ajun ga cerita?" tanya Jiun lagi tatapannya berubah menjadi sendu. Jiun merasa kecewa? Sangat, bukan pada Ajun, tapi pada dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga adiknya.

"Ajun cuma ga mau nambah masalah, Bang," jelas Ajun.

"Justru dengan Ajun kayak gini, buat semuanya jadi rumit," sahut Ayahnya menyela.

"Lo anggep gue keluarga ga si Jun?" tanya Dobby, suaranya sudah parau sekarang. Ia kecewa pada dirinya.

"Maaf," gumam Ajun. Jiun  menghela napas sejenak. Ia berjalan mendekati Ayahnya, lalu berimpuh disana sambil menangis.

"Ayah maaf, Jiun gagal Yah, Jiun teledor jaga satu adik Jiun." Jiun menangis. Ia sedang  meluapkan kekecewaannya sekarang. Ajun melihat itu, tanpa aba-aba air matanya jatuh, ia tahu seberapa kecewa kakaknya sekarang.

"Hukum Jiun Yah!" Nada yang kecewa begitu jelas terdengar bagi Ajun. Rendra berjongkok, ia menyamakan tingginya dengan anak sulungnya.

"Engga, Jiun ga perlu kayak gini, Jiun bangun, jangan buat Ayah sedih," pinta Rendra. Rendra membantu Jiun berdiri lalu memegang bahunya. Menatap anak sulungnya penuh arti, lalu ia menatap putra bungsunya yang sekarang menunduk sambil menangis.

"Ajun kenapa begini-" ucapan Rendra terpotong.

"Kenapa semua pada nyalahin Ajun sih? Ajun juga gamau kayak gini Yah," potong Ajun, nada suaranya terdengar sangat parau. Semua atensi mengarah kepadanya.

"Ajun juga gamau dibully, Ajun pengen cerita, pengen bangett, tapi Ayah tau alasan Ajun bungkam?" Ajun menatap satu persatu orang diruangan itu.

"Kalo Ajun cerita sama Bang Jiun atau Dobby, Ajun takut, Bang Jiun liat sendirikan nasib Hugo kemarin gimana? Kalo Ajun cerita sama Ayah ..." Ajun menatap Ayahnya dengan tatapan sendu

Masalah dan Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang