XVII. Dunia Ajun ... gelap

178 12 0
                                    

"Ga semua orang selain keluargaku mau bertahan di saat aku mengalami keterpurukan, tapi dia selalu ada disisiku, perempuan cantik berhati malaikat." -Arjuna Barra Alvarendra.

Tiga hari sudah Ajun lewati dengan kesedihan dan sekarang ia akan bertemu keluarganya, membiarkan mereka untuk menerima kenyataan yang ia alami.

Selama tiga hari itu juga Calista tidak pernah absen untuk mengunjungi kekasihnya, walau tidak bisa bertemu, Calista selalu membuatkan Ajun origami berbentuk pesawat dengan tulisan penyemangat dan berkata ia tidak akan pergi. Calista selalu menitipkan origami itu kepada Suster yang akan masuk ke kamar Ajun.

Calista tidak ingin kekasihnya merasa kesepian, walau ia tidak tahu bagaimana keadaannya di sana, tapi ia yakin kekasihnya sedang sedih, ia ingin menjadi matahari bagi kekasihnya, walau mereka terpisah Calista akan selalu ada untuk Ajun.

Ajun mendengar suara pintu terbuka, itu pasti Dokter dengan keluarganya. Ia harus tersenyum, ia tidak boleh bersedih.

"AJUN!" pekik Calista, ia langsung berlari dan memeluk kekasihnya. Calista menangis menetes saat ia merasakan tubuh kekasihnya semakin kurus.

"Jangan nangis, nanti jelek," canda Ajun.

"Kalian apakabar?" tanya Ajun, ia ingin berusaha terlihat baik-baik saja.

"Kami semua baik kok." jawab Rendra sambil memberikan senyum manisnya.

"Ajun gimana?" tanya Jiun.

"Baik juga," jawabnya sambil tersenyum.

Calista melepas pelukannya dan membiarkan Dokter mengambil alih tempatnya.

"Saya buka perbannya, nanti buka matanya perlahan ya," jelas Dokter.

Ajun mengangguk sebagai jawabannya. Dokter pun mulai menggunting dan membuka perban itu pelan-pelan.

"Coba buka mata anda pelan-pelan." pinta Dokter.

Ajun membuka matanya pelan-pelan, tak lama ia tersenyum.

Itu membuat keluarganya dan Calista lega sesaat.

"Gelap ..." lirih Ajun.

Deg

Hati mereka yang baru saja merasa lega sekarang justru merasa sakit. Kenapa Ajun masih bisa tersenyum disaat ini?

Ajun tersenyum, tapi tak lama senyumnya pudar, berubah menjadi tangis yang terisak. Berat, ini akan berat untuknya.

Jiun segera mendekap adik bungsunya. Ia menangis, tapi ia harus tetap kuat, ia harus menenangkan adiknya.

Rendra merosot ke bawah, lengannya di pegang oleh Dobby yang ikut berjongkok, mereka menangis tanpa suara.

"Jangan nangis, udah," pinta Jiun sambil mengusap punggung adiknya.

"Berat Bang, dunia Ajun gelap, Ajun gabisa liat apa-apa," lirih Ajun.

Jiun tak dapat membendungnya lagi, ia ikut menangis terisak. "Maafin Abang, seharusnya Abang ga ngajakin kalian ke Jakarta ... Maafin Abang Ajun."

Ajun menggeleng. "Ga sepenuhnya salah Abang kok, emang takdirnya aja yang bangsat," sahut Ajun.

"Ajun gamau kayak gini selamanya Bang, kalau gini mending Ajun nyusul Mama hiks," tangis Ajun

Jiun menyisir rambut adiknya ke belakang. "Ajun gaboleh ngomong gitu, nanti kita lewatin bareng-bareng ya? Nanti kita cari kebahagiaan bareng-bareng."

"Kebahagiaan aja kayaknya ngehindar mulu dari Ajun."

Rendra berdiri, ia menatap Dokter yang menatap Ajun iba. "Dokter, ada cara untuk kembaliin penglihatan anak saya?"

"Dengan melakukan transplatasi kornea mata penglihatan Ajun bisa kembali, tapi di Rumah Sakit ini belum ada relawan untuk pendonor kornea mata." jawab Dokter

Masalah dan Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang