Beberapa tahun yang lalu, Jimin hanyalah seorang pelajar biasa di London. Ketika ia baru berusia enam tahun, sang ayah yang bekerja sebagai komposer musik klasik, bergabung dengan sebuah orkestra ternama di Inggris. Itulah sebabnya, mereka memutuskan untuk pindah dari Seoul dan menetap di sana.Jika harus jujur, ia lebih senang tinggal di Seoul daripada di London. Tapi sebagai anak tunggal yang tentu saja belum mandiri, Jimin tak punya pilihan selain mengikuti keinginan orang tuanya untuk tinggal bersama mereka.
Meski telah meninggalkan Seoul sebagai kota kelahirannya, ia mengunjungi keluarga besarnya hampir setiap tahun. Biasanya, ia akan berkunjung saat liburan musim dingin.
Layaknya sebuah skenario terindah yang pernah diimpikan, Jimin mengenal seseorang sebagai cinta pertamanya empat musim dingin yang lalu, saat usianya masih 18 tahun. Waktu itu, ia sedang berkunjung ke perusahaan label milik sang paman bersama Peter Lee―sepupunya dari Kanada.
Selama itu, ia tak pernah tertarik dengan hal yang pamannya lakukan. Ia pun tak pernah mengikuti perkembangan musik di Korea. Layaknya orang yang tak pernah tahu dunia, ia pun tak tahu menahu tentang keberadaan Dreams―boy group mendunia dengan jutaan penggemar. Apalagi harus mengenal personelnya satu persatu.
Pertemuan pertamanya dengan Jeno adalah hal yang tak terlupakan bagi Jimin. For the first time in her life, Jimin merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Ia pun tak bisa mengontrol debaran jantungnya yang berpacu lebih cepat. Sungguh, itulah pertama kalinya untuk Jimin.
"Kau yakin ingin kuliah di sini?" Jimin menghentikan kunyahannya setelah mendengar penuturan Peter. Sepupunya baru saja mengatakan akan tinggal di Korea untuk belajar musik.
"Mhm, aku sudah bilang ke orang tuaku dan mereka setuju-setuju saja."
Mendengar itu, Jimin cemberut. Ia juga ingin tinggal di Korea Selatan. Tapi ia tahu, mendapatkan izin dari orang tuanya adalah suatu hal yang sulit. Meskipun kedua orang tuanya selalu menuruti keinginan Jimin, tinggal di Korea bukanlah salah satu hal yang akan mereka setujui dengan mudah.
"Aku juga ingin tinggal di sini," rengek Jimin. Ia menusuk-nusukkan sumpit ke makan siangnya.
"Kenapa kau tidak coba bujuk mereka saja?" Peter melanjutkan suapannya tanpa memperhatikan Jimin yang masih cemberut. Bagian favoritnya saat berkunjung ke perusahaan sang paman adalah menikmati makan siang yang selalu membuat mulutnya berliur.
"Ck. Kau tahu sendiri mereka bagaimana!" Jimin kehilangan nafsu makannya. Ia meletakkan sumpit dan melipat kedua lengannya.
Setelah itu, Peter hanya mengangguk-angguk mendengarkan ocehan sepupunya. Siapa pun tak ingin mendengar ocehan Jimin yang membuat pengang telinga.
"Kau dengar aku tidak?!" Jimin mendelik tajam menyadari Peter tak mendengarkannya dengan serius.
"Aku setuju denganmu," balas Peter singkat. Satu kunci jika ingin Jimin cepat diam, setujui apa pun pendapatnya. Jangan buka mulut, apalagi berdebat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GORGEOUS
Romance[SELESAI] Yoo Jimin sudah kehabisan cara untuk menaklukkan hati Jeno. Jika menjadi musuh banyak orang adalah satu-satu cara untuk mendapatkan perhatian pria itu, ia rela melakukannya. Apapun resikonya. Dengan segala kegilaannya, Yoo Jimin mengaku...