CHAPTER 6 | TWO HOT PACKS

1.7K 247 5
                                    

Lee Jeno mengusap cermin berembun yang berada di kamar mandinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lee Jeno mengusap cermin berembun yang berada di kamar mandinya. Embusan napas hangatnya sedikit tampak dari pantulan cermin yang kini terlihat lebih jelas.

Ia menatap dirinya. Mata sipitnya, rahang tegasnya, tahi lalat di bawah mata kanannya, setiap jengkal wajahnya, ia perhatikan itu semua. Jeno tahu ia tak sempurna. Tak ada orang yang sempurna.

Andai wajahnya diganti, masihkah mereka menyukainya? Jika orang sekedar mengagumi fisiknya, ia tak tahu harus merasa bangga atau terhina. Sebagai seorang musisi, ia ingin lebih dikenal karena musiknya. Namun Jeno sadar, dunianya tak berputar demikian.

Ada jutaan penggemarnya di luar sana. Ada jutaan pengakuan kagum dan cinta untuknya. Namun, ada pula hal yang menakutkannya di luar sana―kebencian mereka. Ia tak tahu kenapa orang-orang begitu mudahnya mengatakan kagum, lalu berubah menjadi benci dalam waktu sekejap.

Terkadang, ia ingin menyerah dengan hidup yang begitu mencekiknya. Ia harus sempurna di saat dirinya tak pernah menjadi sempurna. He has to live up to everyone's expectation. Bukankah itu menakutkan?

Menjadi sumber kebencian orang-orang yang pernah mengagumi dan mencintainya adalah mimpi buruk untuknya.

Lamunannya terputus tiba-tiba. Wajah seseorang baru saja terlintas di benaknya. Wajah yang sering kali muncul tanpa terduga di saat seperti ini. Dengan kesal, ia membuka kran wastafelnya. Jeno seakan mandi dua kali dengan air yang sudah membasahi seluruh wajah dan rambut bagian depannya.

Ia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang menggantung di lehernya. Tangannya berhenti bergerak ketika sebuah bayangan lagi-lagi terlintas di benaknya.

Ia tidak suka ini.

Ia tidak nyaman dengan ini.

Dengan kesal, ia melemparkan handuk basahnya ke keranjang pakaian kotor.

Sepuluh menit sebelum jam 8 malam, Jeno telah siap dengan barang-barang yang akan dibawanya ke asrama. Comeback-nya sudah semakin dekat. Tinggal di asrama adalah suatu keharusan bagi setiap anggota.

[Jeno] Jangan ke apartemen. Aku tidak di sana.

Beberapa saat berlalu, Jeno tersadar dengan apa yang baru saja dilakukannya. Ia segera membuka kembali chatroom-nya dan mendesah kesal. Percuma saja ia batalkan pesannya. Orang itu akan tetap tahu ia mengirimkan sesuatu. Mencoba tak peduli, ia bergegas untuk menuju ke asrama.

***

Pukul 8.35 malam, bukannya sampai di asrama, Jeno malah mampir ke tempat yang baru saja dikunjungi kemarin―sebuah penyewaan batting cage. Stresnya semakin memburuk mendekati comeback. Ia harus melepas segala penat sebelum emosinya pecah di asrama. Lebih baik ia melampiaskannya seorang diri di sini.

Setelah pukulan kelimanya, ia sempat terkejut karena teriakan seseorang dari samping batting cage-nya. Teriakan demi teriakan terdengar hingga beberapa menit kemudian. Bukannya merasa kesal, Jeno justru terdorong untuk memukul bola baseball yang datang padanya dengan lebih kencang. Seakan-akan, orang yang berteriak tersebut memang tengah menyemangatinya.

GORGEOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang