Sambaran petir dan rintik hujan seakan meruntuhkan semangat seseorang untuk memulai harinya. Di kamarnya yang temaram, Yoo Jimin masih enggan beranjak dari kasurnya yang hangat. Aaah ... andai saja tidak ada jadwal pemotretan, ia akan dengan senang hati bergumul seharian dengan selimut dan bantalnya yang empuk.Kedua matanya lagi-lagi menerawang, menatap jendela kamarnya yang dibiarkan tak tertutup tirai. Sesekali, matanya terpejam kala kilat menyambar menghiasi langit Seoul yang tampak dari jendela kacanya.
Jimin mengembuskan napas hangatnya dan mengernyit karena pening yang tiba-tiba menyerang. Mungkin karena ia melewatkan makan sejak kemarin siang. Lalu, dering ponsel pun mengalihkan perhatiannya.
"Ya?" Dengan suara yang sedikit serak, Jimin mengangkat telepon dari sang manajer.
"Kau sakit?"
"Aku baik-baik saja. Jam berapa aku harus bersiap-siap?"
"Dua jam lagi aku akan menjemputmu. Kau ingin sarapan sesuatu? Biar aku belikan."
"Tidak perlu. Masih ada sereal di dapur. Aku harus segera menghabiskannya sebelum kadaluwarsa."
"Ya sudah. Bilang padaku jika ingin sesuatu."
"Mhm." Jimin bergumam kecil sebelum memutus sambungan telepon. Setelah itu, jarinya sibuk mengetikkan sebuah pesan.
[Jimin] Kau sibuk hari ini?
Jimin menggulir layar ponselnya ke atas. Tragis. Jeno tak pernah sekalipun membalas pesannya. Lalu, kenapa ia masih saja mengirimkan pesan dan menunggunya setiap hari? Jimin salut dengan dirinya sendiri.
Dengan kepala yang masih pening dan tubuh yang sedikit lemas, ia memaksakan diri untuk bersiap-siap. Setelah melakukan yoga selama 20 menit, ia bergegas menuju kamar mandi. Ia siap memulai harinya dengan riasan sederhana dalam balutan sweater dress dan jaket denim.
"Putri kodok akhirnya bangun juga." Peter menyapa Jimin dari pantry.
"Jangan buat aku emosi pagi-pagi begini." Jimin membalas ejekan sepupunya dengan datar. Ia menyambar kotak sereal dari tangan sepupunya sebelum pria itu menghabiskan stok makanannya.
"Kau pulang jam berapa semalam?" Peter bertanya seraya menuang susu ke dalam mangkuknya. "Aku ke sini tengah malam tapi kau tidak ada."
"Tidak tahu. Mungkin setengah tiga pagi."
Peter melotot mendengar jawaban sang sepupu. "Setengah tiga dan kau masih bisa bangun pagi?"
"Memangnya aku punya pilihan?" Tentu saja Jimin punya pilihan. Kalau saja ia tak berkunjung ke apartemen Jeno dan menunggunya hingga berjam-jam, ia akan tidur dengan cukup.
Jimin menyuap sereal dan mengecek layar ponselnya. Apa yang ia tunggu? Tentu saja pria itu tidak akan membalas pesannya.
"Bibi mengirim pesan."
KAMU SEDANG MEMBACA
GORGEOUS
Romance[SELESAI] Yoo Jimin sudah kehabisan cara untuk menaklukkan hati Jeno. Jika menjadi musuh banyak orang adalah satu-satu cara untuk mendapatkan perhatian pria itu, ia rela melakukannya. Apapun resikonya. Dengan segala kegilaannya, Yoo Jimin mengaku...