Suatu malam di akhir bulan Juni, Jeno bersama Minki sedang duduk santai di sebuah kafe langganan mereka.
"Jimin masih belum mau bicara?"
Jeno tak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya. Ia menyesap minuman yang dipesannya, lalu menatap kosong gelas yang dipegangnya.
Melihat gelagat sahabatnya, Minki sudah tahu jawabannya. Lalu, ia pun ikut menenggak minumannya.
"Aku tidak menyalahkannya." Minki meneguk minumannya lagi. Ia melirik sahabatnya. "Kalau aku jadi dia, aku juga tidak mau kenal denganmu lagi," lanjutnya.
Jeno sudah menceritakannya, tentang apa yang terjadi di malam pertengkarannya dengan Jimin. Siapa pun yang mendengarkan ceritanya, pasti akan menyalahkan Jeno, termasuk Minki. Hanya saja, Minki tetaplah Minki, sahabat yang selalu mendukungnya. Tentu saja setelah pria itu memarahinya.
Jeno yang sejak tadi hanya diam, menghela napas, lalu meletakkan gelas piala yang dimainkannya.
Melihat itu, Minki pun ikut menghela napas. Ia menepuk bahu sahabatnya lalu berkata, "Sudahlah. Jangan terus merenung seperti anak gadis yang patah hati. Kau buktikan saja apa yang sudah kau renungkan."
"Aku sudah coba membuktikannya," jawab Jeno tak yakin. Bukankah ia sudah datang menemui, mengirimkan pesan, dan juga menghubunginya?
"Mungkin karena kau belum berusaha dengan lebih tulus."
Jeno melirik. Dari tatapannya, ia meminta Minki untuk membantunya. Ia sudah melakukan apa yang ia tahu.
"Tunjukkan kalau kau benar-benar serius. Tunjukkan kalau kau memang tak akan ingkar janji kali ini. Kau tahu bukan, perjuanganmu tak sebesar perjuangannya? Bayangkan, Jimin rela jadi bayang-bayangmu selama 5 tahun ini. Kau baru 2 bulan saja sudah lesu begini." Minki menambahi.
Jeno menatap Minki. Tak ada yang bisa disangkal dari ucapan sahabatnya. Ia menatap dan memilin gelang yang selalu dipakainya.
"Aku tidak tahu caranya," kata Jeno pelan.
Minki menggeleng dan berdecak. Sahabatnya yang satu ini memang tidak tahu apa-apa.
"Berikan sesuatu sebagai permintaan maaf. Tidak harus benda. Kau bisa berikan apa pun yang bisa membuatnya tersentuh. Lagipula, Jimin bukan tipe gadis materialistis yang suka benda-benda mewah. "
Jeno mengerutkan keningnya. Memangnya apa yang bisa ia berikan?
***
Setelah seharian bekerja, Jeno berjalan gontai memasuki kamarnya. Ia menelungkupkan diri ke tempat tidur tanpa berganti pakaian. Helaan napas lelahnya keluar setelah ia menatap udara kosong selama beberapa menit.
Jeno merogoh saku celana untuk mengeluarkan ponselnya. Dari banyaknya pesan dan juga pemberitahuan, tak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Ia hanya membalas beberapa pesan penting dari ibunya dan juga mengenai pekerjaan sebelum menggulir layar ponsel, lalu membuka chatroom-nya dengan Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
GORGEOUS
Romance[SELESAI] Yoo Jimin sudah kehabisan cara untuk menaklukkan hati Jeno. Jika menjadi musuh banyak orang adalah satu-satu cara untuk mendapatkan perhatian pria itu, ia rela melakukannya. Apapun resikonya. Dengan segala kegilaannya, Yoo Jimin mengaku...