Pertengahan Januari tiba. Jeno masih menyelesaikan konser di Amerika hingga akhir bulan. Sedangkan Jimin, ia sudah kembali ke Korea Selatan dua hari setelah konser Dreams di New York berakhir. Lagipula, ia bukan seorang pengangguran.
Siang ini, ia dan Jaehyun berencana untuk makan siang di suatu kedai tak jauh dari gedung perusahaan.
"Kak," panggil Jimin.
"Hmm?" Jaehyun bergumam seraya melahap sup udang pedasnya.
"Emm ... berlebihan tidak kalau aku menyusulnya lagi?" Jimin memegang sumpit dan mulai menyuap makan siangnya.
Jaehyun yang menunduk, melirik Jimin sekilas. "Memangnya tidak bisa ditahan?" tanyanya.
Jimin meletakkan sumpit dan mengunyah makanannya dengan tidak semangat. Ia memasang wajah lesu dan menghela napas.
"Tidaaak," gumam Jimin lesu.
Kekehan datang dari Jaehyun. Ia pun berkata, "Ya sudah, kau susul saja."
Jimin menelan lauk yang dikunyahnya sebelum mengutarakan kekhawatirannya.
"Aku takut dia marah."
Jaehyun meletakkan sendoknya. Ia mengelap keringat dan bibirnya yang sedikit memerah karena pedasnya kuah. "Kapan terakhir kalian bicara?" tanyanya.
"Bicara?"
"Iya, kalian bicara lewat telepon, kan?"
Mendengar itu, Jimin mengerucutkan bibir dan menggelengkan lemah. "Tidak," jawabnya singkat.
Jeno tak pernah menghubunginya lewat telepon. Pria itu hanya sesekali mengiriminya pesan. Itu pun karena ia yang mengawalinya.
"Kami hanya saling kirim pesan, bukan menelepon." Jimin menghela napas.
"Kenapa tidak?"
"Dia tak pernah meneleponku. Lagipula, aku takut mengganggunya."
"Kau tidak pernah tahu. Mungkin saja dia menunggumu. Kau tahu sendiri Jeno bagaimana."
Jimin menggeleng. "Aku tidak yakin." Sejak malam itu, Jimin berhati-hati untuk tidak bertindak ceroboh lagi.
Jimin menyendok nasi putih yang masih mengepul dan menyuapnya. Jaehyun memperhatikan Jimin yang tengah melahap makan siangnya.
"Aku salut denganmu. Kau masih saja bertahan, meski sudah diperlakukan begitu."
"Aku tidak sekuat itu," balas Jimin dengan senyuman kecil.
"Apa kau tidak terganggu dengan komentar publik?" Jaehyun bertanya dengan hati-hati.
"Aku tidak takut jika mereka hanya menghujatku. Tapi karena tindakan cerobohku, seseorang menerima imbasnya. Itulah yang kusesalkan." Jimin tersenyum kecut. "Apapun yang terjadi, inilah yang risiko yang kupilih," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GORGEOUS
Romance[SELESAI] Yoo Jimin sudah kehabisan cara untuk menaklukkan hati Jeno. Jika menjadi musuh banyak orang adalah satu-satu cara untuk mendapatkan perhatian pria itu, ia rela melakukannya. Apapun resikonya. Dengan segala kegilaannya, Yoo Jimin mengaku...