CHAPTER 32 | YOUR EYES DON'T LIE

1.2K 145 2
                                    

Seminggu setelah kejadian itu, Jeno dan Jimin belum bertemu lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seminggu setelah kejadian itu, Jeno dan Jimin belum bertemu lagi. Jimin selalu bilang ia sibuk dengan pekerjaannya, Jeno pun tak memaksa kekasihnya untuk bertemu. Tak ada panggilan telepon yang biasa mereka lakukan hampir setiap harinya. Hanya ada pesan singkat yang sesekali terkirim ke ponsel masing-masing.

[Jeno] Kau sudah makan?

[Jimin] Hm, sudah. Kau?

[Jeno] Aku juga. Jaga kesehatanmu.

[Jimin] Hm, kau juga.

[Jeno] Hmm, aku akan lanjut latihan.

[Jimin] Selamat latihan.

Pembicaraan mereka hanya seputar sarapan, makan siang, makan malam, atau jadwal tidur mereka.

Lalu, tiba saatnya perusahaan merayakan ulang tahunnya. Setiap tahun, perusahaan mereka akan menyediakan liburan untuk para karyawannya, termasuk tahun ini.

Sekarang, Jimin sedang duduk seraya mengamati lintasan bandara. Di sampingnya, ada Yeji yang sibuk dengan earphone dan iPadnya.

"Jimin?"

Jimin tak mendengar panggilan itu, bahkan setelah lima kali Yeji memanggilnya. Ia menoleh setelah tepukan mengenai pundaknya.

"Ya?"

"Mmm ... boleh tidak aku duduk di tempat lain?" tanya Yeji terdengar tak enak hati.

Jimin sedikit menaikkan alisnya. Meski begitu, ia tetap tersenyum dan mengangguk.

Di sisi lain pesawat, Jeno duduk dengan menumpu dagunya. Sama seperti Jimin, ia pun memilih untuk menatap keadaan luar dari jendela pesawat. Pikirannya melalang buana―mengingat pertemuan singkatnya dengan Jimin tadi.

Mereka tak bicara banyak, lebih banyak diam dan saling mencuri pandang. Setelah seminggu tak saling bertatap muka, keduanya sama-sama menahan rindu. Namun sayang, ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk saling melepas rindu. Jimin dengan rasa bersalahnya pada Jeno; dan Jeno dengan rasa bersalahnya pada Jimin dan teman-temannya.

Jeno bangun dari lamunannya saat Mark―orang yang duduk di sampingnya―bicara.

"Aku duduk dengan Yeji, tidak apa-apa, kan? Lagipula kau bisa duduk dengan Jimin."

Jeno tak menanggapi atau lebih tepatnya, tak sempat menanggapi. Yeji sudah ada di hadapan mereka detik itu juga. Jeno tak punya pilihan lain. Ia pun beranjak menuju kursi yang Yeji kosongkan untuknya.

Langkah kakinya memelan, terpaku oleh tatapan Jimin yang sudah tertuju padanya. Napasnya tertahan sejenak. Dadanya pun berdebar kencang. Senyuman di wajahnya terkembang saat ia berjalan mendekat.

GORGEOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang