CHAPTER 9 | HOLLOW

1.6K 249 4
                                    

Cowards die many times before their deaths

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cowards die many times before their deaths.

-Shakespeare-

Napas hangatnya mengepul di udara dingin. Tangannya terlihat memerah di malam bersalju. Lebih dari itu, perasaan asing yang menyesakkan dada tengah menyita seluruh perhatiannya. Salju yang mulai turun seakan mendukung suasana batinnya yang semakin kalut.

Ia menunduk, menatap benda yang kini tergeletak di atas tumpukan salju bercampur debu. Dengan tangannya yang mulai kaku, pria itu memungut benda berkilau yang memantulkan cahaya temaram lampu jalan.

Jeno, ia tak baru saja berlari ratusan meter, tapi napasnya memburu hanya karena dua benda yang kini berada di genggamannya. Kenapa hatinya semakin kalut setelah melihat kedua benda tersebut?

Satu-satunya di dunia ini.

Seperti Lee Jeno, satu-satunya di dunia Yoo Jimin.

***

Malam berganti pagi. Jeno berbaring di atas tempat tidurnya tanpa memejamkan mata. Berapa kali pun ia merapalkan doa dan mencoba untuk terlelap, ia tetap tak bisa melakukannya.

Sunyi.

Terlalu sunyi.

Ia semakin tak nyaman dengan kesunyian ini.

Matanya berkedip kala alarm ponselnya menyalak, memecah paginya yang terlalu sunyi.

Hari telah berganti, tapi ia masih saja terganggu dengan kemarahan gadis itu. Hal ini jelas melenceng jauh dari perkiraannya.

Semalam, Jeno memutuskan untuk pulang ke apartemen dan langsung beristirahat, berharap menghapus bayangan wajah sedih seseorang dari pikirannya. Sayangnya, semua berjalan tak sesuai rencana. Ia tak bisa tidur, tak juga lupa dengan ingatan semalam.

This is worse than a nightmare.

Kenapa ia semakin tak tenang sekarang?

Dia tidak berhak marah padaku.

Dialah yang mengklaim semuanya seorang diri.

Seharusnya dia sudah tahu aku tidak ... aku tidak peduli padanya.

Iya, aku tidak peduli.

Aku tidak peduli sama sekali.

Jeno berusaha mendoktrin pikirannya demikian. Tapi, sel-sel di otaknya menolak untuk bekerja sama.

Helaan napas berat mengawali paginya hari ini. Ia bangun dan menyeret kakinya menuju dapur. Ia butuh minum. Tenggorokannya terasa begitu kering. Ia tak ingat terakhir kali menenggak air.

Tangannya berhenti dan mengapung di udara, melihat deretan botol air minum di lemari pendingin. Lagi-lagi, ia dibuat kesal karena bayangan orang itu terlihat semakin jelas.

GORGEOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang