Malam semakin larut. Jimin duduk termangu di depan jendela kamar lotengnya. Gerimis yang turun membuatnya semakin melankolis. Entah sejak kapan, rintik hujan dan pemandangan dari balik jendela selalu menarik perhatiannya. Yang jelas, hal itu membuatnya lebih merasa tenang dan berpikir jernih.
Banyak hal yang ia pikirkan saat menyendiri dan menjauh dari Jeno. Perkataan kekasihnya memang ada benarnya. Ia tak seharusnya gegabah dan memaksa Jeno untuk memamerkan hubungan mereka ke publik.
Bagaimanapun juga, menjaga perasaan orang-orang yang telah mendukung Jeno adalah hal yang seharusnya dilakukan. Mungkin, ia harus lebih mengerti dan sabar. Namun, ada satu hal yang mengganjal di hatinya.
Pertengkaran malam itu membuat Jimin kembali sadar akan risiko yang harus dihadapinya. Mungkin, sampai kapan pun juga, ia tidak akan pernah mendapatkan pengakuan dari publik ... ataupun Jeno.
Jimin menghela napas dan mengusap pelan wajahnya. Terlalu banyak berpikir membuatnya lelah. Ia pun turun ke dapur untuk mengambil air minum.
"Gosh!" Jimin mengumpat karena suara bel yang didengarnya. Ia melirik jam dinding dan mengernyit. Pukul 10 malam bukanlah waktu yang tepat untuk berkunjung.
Rasa penasaran membuatnya berjalan mendekati pintu. Lalu, ia pun mengintip dari balik peep hole.
Lee Jeno?
Melihat Jeno berdiri di depan pintu, membuat jantungnya seketika berdegup kencang. Jimin mencubit pipinya dan mengaduh kecil. Ia tak sedang tidur ataupun melamun. Buktinya, pria itu tersenyum dan menyapanya saat ia membukakan pintu.
"Hai ...."
Jimin terdiam dan mematung di depan pintu. Ada semburat lelah di wajah Jeno yang terlihat olehnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jimin pada akhirnya. Kerutan halus di keningnya terlihat. Raut wajahnya tampak serius.
"Aku ... aku ingin melihatmu," balas Jeno sedikit pelan. Ia menelan ludah karena tenggorokannya yang kering.
Tatapan tajam datang dari Jimin. Gadis itu menyangga tubuh di kaki kanannya dan melipat tangan. Raut seriusnya belum juga hilang. "Tidak denganku," balasnya santai.
Jeno meremas genggaman tangannya. Tak ada jejak senyuman yang biasa dilihatnya di wajah Jimin. Ia tak siap menerima penolakan gadis itu.
"Tapi aku merindukanmu." Suara Jeno terdengar lebih pelan. Ia menurunkan pandangannya dan menatap hoodie yang Jimin kenakan. Jeno menggigit bibirnya untuk mengalihkan rasa sesak di dadanya.
Jimin mengunci tatapannya untuk Jeno. Meski hatinya mulai luluh, ia masih belum memberikan tanggapan.
"Berhenti marah padaku." Jeno memasamkan wajahnya―menarik sudut bibirnya ke bawah, memandang Jimin dengan tatapan sendunya.
"Berhenti menghindariku." Pria itu pun menghela napas. Rasa sesaknya masih belum hilang.
Jeno menatap hoodie―miliknya―yang dipakai Jimin sekali lagi. "Bukankah kau juga merindukanku?" Sayangnya, ia masih tak mendapat respons apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
GORGEOUS
Romance[SELESAI] Yoo Jimin sudah kehabisan cara untuk menaklukkan hati Jeno. Jika menjadi musuh banyak orang adalah satu-satu cara untuk mendapatkan perhatian pria itu, ia rela melakukannya. Apapun resikonya. Dengan segala kegilaannya, Yoo Jimin mengaku...