EPILOGUE

1.6K 146 19
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jeno menyandarkan kepalanya ke kaca mobil. Tetesan air hujan menarik perhatiannya. Ia menjulurkan telunjuknya, mengikuti aliran air yang turun di kaca. Entah mengapa, hal sesederhana itu bisa menghiburnya.

Ocehan teman-temannya terdengar bising, namun ia tak keberatan sedikit pun. Ia lebih suka ketika mereka tak memperhatikannya, menatap iba padanya. Ia lebih nyaman seperti ini.

"Jeno."

"Hm?" Jeno menoleh saat Renjun―orang yang duduk di sampingnya―menyenggolnya. Senyum simpul ia berikan untuk Renjun yang lagi-lagi memberinya tatapan 'itu'.

"Lagi." Renjun menghela napas. "Kau tidak harus tersenyum di depanku dan yang lain. Sudah terlalu berat memaksakan senyuman di depan umum ... kau tidak perlu memaksakan diri jika bersama kami."

Jeno bungkam. Senyumnya pun perlahan sirna.

"Pelan-pelan ... kau bisa melakukannya pelan-pelan." Renjun tersenyum tulus.

Jeno masih membisu. Sekali lagi, ia memalingkan wajahnya.

Setelah bersembunyi dari publik selama beberapa waktu, ia menampakkan diri sebagai pria penuh sandiwara. Sesekali tersenyum, lalu melambaikan tangan ke arah kamera. Sesekali, ia membungkuk untuk menghindari kontak mata. Ia tahu, ada sesuatu yang tergambar jelas di sana.

Bibirnya bisa berbohong. Tapi, bagaimana ia akan menyembunyikan sorot matanya? Itu di luar kendalinya. Pekerjaannya menuntut kebahagiaan darinya. Sekalipun hanya sebuah senyuman simpul, ia pun harus berpura-pura melakukannya. Setelah kepergian gadis itu, tidak ada yang mudah untuknya.

Rasa membatasi diri pun terbangun saat ia berinteraksi dengan para penggemarnya. Panggungnya bukan lagi tempat yang nyaman untuk mengekspresikan diri. Ia lebih banyak menatap lautan hitam saat berada di bawah lampu sorot. Begitu lebih nyaman untuknya. Sekalipun ia memberikan senyuman, senyuman itu terasa begitu hambar untuknya.

"Sudah waktunya makan malam. Kau ingin makan apa?" tanya Renjun.

"Aku makan di rumah saja."

"Aku tahu di rumahmu hanya ada mie instan. Dan kau terlalu malas untuk memasak."

"Aku bisa pesan ma―"

"Ssss ...." desis Renjun. "Kau ingin makan apa?" ulangnya.

"Apa pun," jawab Jeno singkat.

"Kak Sejoon." Renjun memanggil sang manajer yang sedang menyetir.

"Hm?" sahut Sejoon.

"Jeno ingin makan 'apa pun'. Kau tahu tahu beli 'apa pun' di mana?"

"Tidak tahu."

"Jaemin."

"Ha?"

"Jeno ingin makan 'apa pun'. Kau tahu tahu beli 'apa pun' di mana?"

GORGEOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang