8. Kepingan Kertas

330 57 0
                                    

"S-Sen... sengaja apanya?"

Sena seketika menyadari suara teriakannya ternyata cukup keras. Ia keluar kamar sedikit, menoleh kanan-kiri. Aman. Tak terlihat ada yang menguping.

"Engga, udah. Pergi aja lo." Sena menutup lagi pintu hotelnya dengan Jeno berada di luar kamar.

Ia mengorek tong sampah, mengumpulkan sampah tisu itu lalu membawanya ke toilet. Ia tak peduli peraturan. Segera ia buang tisu itu ke toilet lalu membuangnya melalui saluran pembuangan.

Perih. Pahanya terasa perih kali ini.

Ia keluar kamar mandi lalu kembali ke kamar. Sebelum Yeri datang, ia membuka celana tidurnya lalu sedikit bercermin.

Tubuhnya tak terlalu tinggi, biasa saja. Badannya kurus. Bukan genetik. Ibunya selalu mengatur takaran kalori yang ia makan setiap hari.

Dalam bayangan maya tersebut, nampak seorang gadis yang terlihat lemah. Bukan gadis kasar, tak berhati, dan menyebalkan. Hanya seorang gadis ketakutan dengan hati yang sudah hancur.

Goresan kepedihan pada kulitnya itu membuatnya semakin terpuruk. Seperti cap permanen bahwa ia hanya anak kecil tak berrumah.

Ia mengangkat kedua tangannya. Cantik dan bersih. Cerah mulus tanpa cela, seperti apa yang diinginkan orang tuanya.

Orang tuanya tak pernah tahu dan tak pernah mau peduli bagaimana putrinya ini perlahan rusak dan hancur dari dalam.

***

Pukul setengah tiga pagi, hotel terasa sangat sepi. Yeri sudah kembali ke kamar, tertidur lelap setelah selama satu jam menceritakan kebahagiaannya bersama Mark.

Sena berdiri di samping kasur, menatap Yeri seperti hantu dalam film 'Paranormal Activity'. Bukan, ia bukan hantu. Meskipun begitu, ia memiliki perasaan yang sama dengan hantu itu.

Ia ingin mencakar wajah Yeri dan seluruh kulitnya sampai perih.

Pengkhianat ini. Tidakkah ia ingat bahwa dulu ia tak punya teman juga? Yeri hanya seorang anak biasa tanpa teman sebelum Sena menemaninya. Sekarang lihat anak ini, kacang lupa kulit. Ia sudah bisa bersenang-senang dengan teman-teman Mark dan anak kelas lainnya dengan bebas.

Sena menghela napas. Ia tiba-tiba berjalan keluar kamar hotel. Ia tak membawa ponselnya, atau bahkan kunci kamar. Ia hanya membawa dirinya turun ke lantai bawah, lalu pergi ke kolam renang sepi yang sudah berantakan akibat anak-anak yang bermain di sini tadi.

Arus kolam itu nampak tenang dengan pantulan cahaya lampu hotel terrefleksi indah di atasnya. Lagi-lagi, keindahan ini tak dapat Sena nikmati.

Ia tak berpikir apa-apa. Ia duduk di pinggir kolam dan mencelupkan kedua kakinya. Ia membiarkan celananya basah sambil merasakan serangan dingin di setiap ujung saraf kakinya. Ditambah udara pagi buta begini sangat menusuk tulang.

Sena hanya memakai selembar kaus tipis dan celananya. Tanpa jaket atau kain lain yang membantu menghangatkan dirinya.

Semua orang pengkhianat. Tak akan ada satu orangpun yang setia dan peduli padanya. Teman, kata mereka. Ck. Semua teman hanyalah rekan hidup yang tak sengaja bertemu. Pertemanan adalah hubungan semu yang tak patut dipertahankan. Hal itu tak nyata. Antar teman sendiri saja, kita menusuk dari belakang satu per satu.

Sena tak bisa berenang. Melihat kolam sedalam dua meter di hadapannya cukup menyeramkan. Tapi rasanya ia ingin menceburkan dirinya, menenggelamkan dirinya sendiri lalu tidur di sana.

Langit malam itu seakan menertawakan kesendiriannya. Mengoloknya dengan semua kecacatan dalam diri Sena. Mulai dari dirinya yang tak pintar sempurna, sampai kecacatan mentalnya.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang