28. Terusir

358 32 0
                                    

Jeno bangun sedikit terlambat dari alarm yang ia pasang, namun masih cukup pagi. Di sampingnya, Sena masih tertidur sangat lelap. Sena bahkan tak berpindah tempat selama tidur. Ia tetap di posisi yang sama, menempel pada tubuh Jeno.

Jeno bangun dari kasur dan memungut bajunya yang bergeletakan di lantai. Ia juga sedikit membereskan baju Sena lalu menarik selimut Sena agar menutupi tubuh bugilnya itu.

Diam-diam, ia membuka kunci kamar Sena dengan perlahan. Sebelum ke kamar, ia mampir ke dapur untuk mengambil minum. Tenggorokannya sangat kering sekali.

"Pagi, Jen," sapa Uwa yang sedang mengupas bawang di dapur.

Jeno terkejut bukan main. Ia langsung terhenti di daun pintu. Ia sembunyikan baju Sena yang hendak ia letakkan ke keranjang baju kotor.

"Gak usah diumpetin. Uwa tau."

Deg.

Rasanya jantung Jeno seperti mau copot. Ia berdiri membeku sementara Uwa masih mengupas bawang putih dan meletakkannya di sebuah kotak.

"Suara kamu kedengeran keluar."

Jeno semakin malu. Ia tak berani menjawab apa-apa dan hanya menunduk.

"Kamu beres-beres, gih. Sebelum tetangga keluar, kamu pergi duluan."

Jeno menggelengkan kepalanya dan langsung bersuara.

"Wa, maafin aku, tolong. Aku tahu itu salah. Tapi dia gak ada tempat lagi buat berlindung," ucap Jeno lalu berlutut di tempat.

"Kamu waktu itu cerita kalo dia punya gangguan mental? Apa gak makin parah dia setelah nanti tetangga bakal ngomongin kalian berdua? Nikah enggak, cewe dari kota. Ibu kamu aja udah cukup jadi bulan-bulanan tetangga, Jen. Mending anak sebelah dia beneran nikah sama yang punya sawah di kampung depan walau baru 17 tahun, tapi sah!"

Mata Jeno mulai berkaca-kaca saat ibunya disebut. Ia mencoba memikirkan segala jalan keluar, namun tidak ada jalan lain.

"Maafin aku dan Sena, Wa, tolong. Kita berdua gak akan ketemu sama tetangga lain lagi," ucap Jeno yang sudah kehabisan ide.

"Di sini beda kayak di kota. Kamu di kota bisa tetanggaan gak ngobrol. Di sini kita setiap hari dan setiap saat selalu ngobrol sama lingkungan kita. Saling bantu, saling kasih kabar."

Jeno meletakkan baju Sena di lantai lalu ia mengusap wajahnya. Ia masih berlutut kebingungan.

"Kasih aku waktu. Aku belum tau harus kemana lagi. Dan, Wa, tolong jangan kasih tau Sena kalo ada yang tau tentang ini."

Uwa menghela napasnya dan membereskan sampah bawang di sekitarnya.

"Terserah kamu. Uwa gak mau bantu apa-apa lagi. Kamu urus hidup kamu sendiri."

***

Pikiran Jeno kalut. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan menuju sawah di depan rumah mereka. Dari jauh, Jeno dapat melihat Sungchan yang sedang duduk di saung tengah sawah.

Jeno menghampiri sepupunya itu dan menyapanya, "Oi, Chan, ngapain?"

Sungchan sedang melihat ponselnya. Jeno melirik sebatang rokok yang dipegang Sungchan. Seingatnya, Sungchan hanya setahun lebih muda darinya.

Tapi memang biasa. Di sini, bocah SD saja sudah memegang rokok.

"Euy, A, lagi nyari sinyal," ujar Sungchan sambil mengangkat ponselnya.

Jeno mengangkat kakinya ke dalam saung itu dan bersandar berhadapan dengan Sungchan.

"Kusem amat. Kenapa, A? Mau ngudud?" Sungchan mengulurkan kotak rokoknya dan memberikan korek api kayu miliknya.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang