10. Hongkong

288 42 0
                                    

Rintik hujan sedikit demi sedikit menyerbu tubuh Jeno yang sedang mengarungi jalanan dengan motor matic tuanya. Semakin mengebutlah ia di antara jalan gang yang hanya bisa dimasuki satu mobil itu.

Sebelum hujan semakin besar, ia sampai di rumah kecilnya. Rumahnya berada di daerah kumuh, jauh dari tengah kota, jauh dari perumahan elit milik Sena.

Dengan cekatan, ia mengunci pagar dengan rapat lalu langsung mengangkat jemuran yang hampir kebasahan. Langit juga sudah sangat gelap. Ia buru-buru mengamankan beberapa barang di luar agar tidak kebasahan.

"Jeno pulang," ucapnya pada rumah yang terdengar sepi itu. Sudah biasa, memang tak ada yang menjawabnya di depan pintu rumah.

Sebelum membersihkan dirinya, ia masuk pada sebuah kamar kecil. Suara televisi yang tak jernih itu memenuhi ruangan.

Senyuman manis Jeno menyeruak, cukup untuk menyadarkan wanita tua yang sedang terbaring di atas kasur itu kalau Jeno sudah pulang.

"Jeno pulang, Nek. Udah laper, ya?" tanyanya lalu segera mengambil lap di atas meja, membersihkan sisa-sisa makanan dari atas kasur.

"I-iya," jawab wanita itu dengan suara yang hampir tak dapat terdengar.

Jeno segera mengambilkan makan malam di dapur kecil samping kamar Nenek. Ia menyendok secentong nasi hangat, lalu menambahkan sup ayam yang lebih bisa dianggap sebagai sup wortel karena jumlah ayamnya yang sedikit.

Ia kembali lagi ke kamar itu lalu mengisi gelas air di atas meja kecil di samping kasur.

"Duduk ya, Nek," ucapnya lalu dengan perlahan mengangkat tubuh kurus Nenek agar bisa duduk di atas kasur. Setelahnya, Jeno duduk di atas kasur lalu menyuapi Nenek perlahan-lahan.

"Ibu kamu..." ucap Nenek pelan sebelum menerima suapan selanjutnya.

"Kenapa? Nenek mau ngobrol sama Ibu?" tanya Jeno sembari menebak-nebak kalimat Nenek yang hanya sepotong.

"Iya," jawabnya pelan.

Jeno segera mengeluarkan ponselnya, berharap sinyal di dalam rumah cukup baik. Sinyal di kamar Nenek kadang sangat jelek sehingga sulit untuk menelepon Ibunya dari sini.

Segera ia kontak Ibunya itu melalui aplikasi. Sinyal agak jelek, tapi sepertinya cukup untuk menelepon Ibu.

"Halo? Kenapa Jen?"

"Bu? Ibu lagi sibuk?"

"Engga. Udah malam di sini. Anak-anak bos udah tidur semua jadi Ibu juga sudah istirahat. Ada apa?"

"Ini Nenek katanya mau ngobrol sama Ibu."

"Oalaah. Nek, nanti aku pulang ya. Tiga bulan lagi."

"Ibu gimana di sana? Baik-baik aja, kan?"

"Baik aja. Cuma di Hongkong memang lagi agak dingin, jadi harus hati-hati. Anak-anak Bos juga kemarin lagi sering demam."

"Umm, gitu. Ibu jangan sampe sakit."

"Ya enggak lah, Ibu kan kuat. Kamu sama Nenek gimana di sana?"

"Baik-baik aja. Aku sebentar lagi ujian tengah semester. Nenek juga sehat, cuma kangen Ibu aja. Aku juga kangen Ibu."

"Ya ampun Sayang. Sabar ya. Ibu sebentar lagi pulang. Ibu bawa banyak oleh-oleh nanti."

"Ya udah. Ibu jaga diri ya."

"Iya, Jen. Kamu juga sekolah yang baik ya. Ya udah, Ibu mau beres-beres dulu. Kalau ada apa-apa telepon aja. Dadah Nek, dadah Jen."

"Dadah Bu."

Jeno terdiam sebentar sebelum akhirnya kembali menyuapi Nenek. Setelah selesai menyuapi Nenek, ia pergi ke kamarnya untuk berbenah dan juga bersiap mandi.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang