31. Incoming Call

228 30 0
                                    

"Belok kiri."

"Terus."

"Terus."

"Belok kanan."

"Rumah warna putih."

Sena tak memercayai dirinya sendiri. Ia mengikuti perintah dari mahkhluk halus yang merasuki tubuh Jeno.

Jeno duduk kaku dengan wajah pucat pasinya. Matanya memerah. Selama perjalanan, ia tak berbicara apa-apa. Baru saat mereka sampai di kota, Jeno, atau apapun di dalam tubuh Jeno, mengarahkan Sena.

Sena berhenti di sebuah jalan buntu yang menuntunnya pada rumah bercat putih di ujung jalan itu. Rumah itu terlihat tua dan usang, namun tak angker.

Jeno mengangkat kepalanya lalu menatap rumah itu tanpa berbicara apapun.

"Ini rumah lo?" tanya Sena ragu sambil menatap Jeno yang terlihat sangat kaku.

Ia tak menjawab. Ia masih menatapi rumah itu. Sena dapat mengintip sedikit dari luar pagarnya, ada mobil terparkir di sana. Mungkin ini memang rumahnya.

"Udah sampe. Lo gak mau pulang?" tanya Sena lagi pada Jeno. Masih tak ada jawaban. Jeno tak berkedip sedikitpun saat menatapi rumah di hadapannya itu.

"Hey, lo— akh!"

Sena mencoba menyentuh Jeno tapi tangannya ditahan dan dicengkram kuat-kuat. Jeno bahkan memutar tangan Sena ke lawan arah dan membuat Sena meringis kesakitan.

"A–akh! Stop!" Sena mencengkram stir mobil dan mencoba melihat ke luar untuk meminta bantuan. Tapi langit masih cukup gelap. Tak ada siapapun di sekitar perumahan sepi ini.

"Shit! Gua udah anterin lo! Lo mau apa lagi?!" jerit Sena dan mencoba menarik tangannya. Tapi mahkluk itu menggunakan kekuatan Jeno untuk memelintir tangannya.

"Bunda udah mati. Aku bunuh Bunda. Sekarang kamu, haha." Jeno memelototi Sena dan matanya semakin memerah.

Sena salah. Anak kecil di tubuh Jeno bukan sebuah roh baik. Sena baru menyadari kalau lingkungan ini sangat sepi dan mungkin mobil di dalam tadi hanya halusinasinya saja.

"Jeno, bangun!!"

Plak!

Sena menampar Jeno cukup keras sampai kepala Jeno membentur kaca dan Jeno tak sadarkan diri. Sena menarik tangannya dan langsung meluruskan tangannya yang dipelintir tadi.

Mata Sena bergetar saat memandangi Jeno yang tak sadar. Ia takut Jeno akan bangun masih sebagai orang lain.

Baru pikiran itu lewat di otaknya, perlahan Jeno membuka matanya. Napasnya terlihat sangat berat dan tiba-tiba ia merampas plastik hitam yang selama perjalanan berada di pangkuannya.

"Hoek!!"

Jeno memuntahkan semua isi perutnya walau yang tersisa hanyalah asam lambungnya.

Sena masih terduduk mematung dan menunggu reaksi Jeno selanjutnya. Ia memegangi ponselnya dan berjaga-jaga untuk memukul kepala Jeno lagi jika Jeno mencoba menyerangnya.

"Hoek!!" Jeno muntah lagi dan Sena dapat melihat ada sedikit darah yang keluar dari mulut Jeno.

"S–Sen..." panggilnya pelan lalu mulai melirik Sena. Sena tak menjawab, ia masih menunggu.

Jeno mengikat kantong itu lalu membuangnya ke luar melalui jendela. Setelah membuangnya, Jeno mencoba menatap lurus ke depan dan matanya sedikit membulat.

"Sen, kenapa kita di depan pemakaman?"

Sena terdiam lalu menatap ke luar. Pemandangan ini tak sama seperti apa yang ia lihat tadi. Ia melihat gelapnya hamparan pemakaman yang tertutupi sebuah pagar besi. Pemakaman yang terlihat tak terawat.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang