16. Tengah Malam

335 44 2
                                    

Dug! Dug! Dug!

Baru saja ia akan terlempar ke dalam lautan mimpi, Jeno malah terbangun karena suara pukulan yang ia dengar dari ruang sebelah.

Ia tidur di kamar nenek sekarang. Walau sebenarnya ia masih agak asing untuk tidur di kamar ini, ia harus merelakan kamarnya untuk ditiduri Sena.

"Engh, enggak..." rintihan dari ruangan sebelah, kamarnya, membuat Jeno benar-benar terbangun. Awalnya ia pikir ia hanya sedikit berhalusinasi karena baru bangun. Ternyata suara itu semakin jelas di telinganya, beriringan dengan suara tembok yang dipukul dan menggetarkan bantalnya.

Jeno langsung bangun dan bergegas ke kamarnya. Ia bahkan tak menyalakan lampu terlebih dahulu.

"Udah, cukup. Engga."

Samar-samar, Jeno dapat melihat Sena meringkuk menghadap tembok sembari menarik rambutnya sendiri, lalu mencakar dan memukul tembok setelahnya. Jeno tak tahu Sena bermimpi buruk atau bagaimana, tapi hal ini tak terlihat baik di matanya.

"Sen?"

"Pergi!!!"

Jeno yang baru sedikit menepuk bahu Sena langsung terkejut karena Sena tiba-tiba mencengkram tangannya lalu memelototinya di tengah kegelapan ini. Napas Sena terengah-engah. Ia bahkan agak menancapkan kukunya ke dalam otot Jeno.

"A-akh. Ini gua, Sen. Ini Jeno," ucap Jeno sambil memegangi tangan Sena dan mencoba untuk melepaskan tangannya secara lembut.

Sena masih tak merespon. Ia tetap mencengkram tangan Jeno namun matanya mengecek seluruh ruangan dan kembali menatap Jeno baik-baik. Seperti habis diguyur, wajahnya sangat berkeringat. Dadanya tak berhenti kembang-kempis.

"Ini Jeno, Sen. Hey. Ga usah takut ini gua." Dalam hati, Jeno juga sebenarnya sedikit takut melihat Sena melotot dan mencengkram tangannya seperti ini. Sena seperti kerasukan. Ia bahkan tak begitu merespon ucapan Jeno untuk beberapa saat sampai Jeno berulang berbicara padanya, ia baru melemaskan tangannya.

Lehernya yang tegang langsung melemas dan Sena kembali berbaring di atas bantalnya. Ia berkedip beberapa kali lalu menutup matanya dan menarik napas.

Tiba-tiba ia menutup wajahnya dengan tangannya lalu sedikit menangis. Berbeda dari tangisan yang biasa Jeno lihat pada Sena. Tangisan kali ini terlihat tanpa kemarahan. Sena hanya menangis tanpa mengeluarkan sumpah serapahnya, tanpa melempar barang atau berteriak pada seseorang. Ia bahkan tak berteriak pada Jeno saat ini. Ia hanya mencoba menangis tanpa suara.

Jemarinya sesekali menarik rambutnya agar segala penat di sana hilang. Ia sudah kepalang malu di hadapan Jeno. Tak ada harga diri lagi, menangislah ia begitu saja setelah baru saja memelototi Jeno layaknya orang kerasukan.

Perlahan, Jeno menarik tangan Sena dari wajahnya lalu menatap Sena yang sudah banjir air mata.

"Kenapa?" tanya Jeno singkat, tanpa tuntutan.

Sena menggelengkan kepalanya. Semacam kode yang harus Jeno terjemahkan antara menjadi 'aku tidak apa-apa', 'aku tidak baik', atau 'aku tidak tahu'.

Jeno bergegas pergi ke dapur untuk mengambilkan Sena air minum. Setidaknya untuk membasuh rasa panas di dada Sena dan membuatnya bisa lebih sedikit tenang.

"Minum dulu," ucap Jeno lalu menyalakan lampu.

Sena tak menurut. Ia masih membisu dan masih kerap menangisi hal yang tak Jeno ketahui. Emosi Sena serumit teori fisika, atau teori evolusi, tak dapat Jeno mengerti hany dengan  sekilas membacanya.

"Lo kenapa?" tanya Jeno lagi lalu duduk di ujung kasur. Sena kembali menggelengkan kepalanya lalu menarik selimut sampai ke lehernya.

Jeno menarik selimut itu lalu mengangkat badan Sena sampai ia terduduk. Sejak datang tadi, Sena belum bercerita banyak. Sekarang jam dua pagi. Hari ini harus ke sekolah. Malam ini akan panjang dan mungkin Jeno harus berpura-pura sakit besok agar bisa izin ke UKS untuk tidur.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang