12. Cekik

342 49 1
                                    

"Mau ke mana, Tuan?"

Pria yang baru saja menghajar Jeno sampai pandangan Jeno berkunang-kunang itu terdiam saat melihat sebilah pisau tajam di hadapannya. Sena tak gentar dengan benda ini sedikitpun.

"Siapa kamu?!" Matanya sedikit membulat saat benda tajam itu mendekatinya. Ia agak sedikit mundur dan terlihat takut.

Badan besarnya terlihat seperti preman. Sena jelas tahu orang seperti apa yang dihadapannya ini. Orang yang tak memiliki akal sehat untuk menjani hidupnya, pengecut. Tangannya mungkin bertato, tapi dalam dirinya ia tak lebih dari sampah.

"Kamu ini mau macem-macem sama saya, hah?!" Pria itu membentak Sena setelah menyadari lawannya hanyalah perempuan mungil dengan kulit pucat.

Sena menurunkan pisaunya setelah bentakan yang menggelegar itu. Tangannya terlihat gemetar dan matanya agak sedikit berair. Pria itu semakin terlihat percaya diri untuk mengobrak-abrik rumah ini.

"O-Om... jangan sakitin Jeno!" ucap Sena terbata-bata lalu sedikit menunduk.

"Kamu sok-sokan bawa pisau. Lagian ngapain kamu di sini, hah? Mentang-mentang rumahnya kosong bisa bawa pelacur juga si Jeno ini."

"Eish, bajingan ini!"

Bug! Bug!

Sena menendang kuat kemaluan pria itu dua kali. Langsung saja pria itu terjatuh ke lantai sambil memegangi kemaluannya yang sakit bukan main akibat tendangan kuat Sena. Terasa seperti tendangan kuat dari bola sepak langsung mengenai kemaluannya.

"A-akhh!!" Pria itu terduduk di lantai lalu bersandar ke tembok.

Sena mengakhiri akting lemahnya dan langsung berdiri di depan pria itu. Tanpa basa-basi, Sena meletakkan pisau itu di leher pria yang merupakan ayah dari Jeno.

"Belagu banget tukang mabok kayak lo so-soan mau malak anak sendiri. Lo sengsara sendirian aja ga usah bikin anak lo sengsara juga, ngerti gak?! Otak lo tuh dipake!" Sena semakin menekan pisau itu ke leher pria itu dan membuat pria itu takut.

Menyaksikan seseorang merana seperti ini sungguh menyenangkan. Melihat seseorang berada di bawah kontrol Sena dan terlihat lemah, tak berdaya, melihat ia menangis ketakutan.

"Ha, hari ini gua lagi baik."

Sret!

Sena mengiris kulit tangan kiri pria itu. Tak dalam, namun cukup panjang sekitar 20 cm. Pria itu kembali meringis karena tangannya terasa sangat perih. Terlihat gangster, tapi masih tak sanggup menerima goresan tipis yang Sena buat di tangannya.

"Udah. Sana pergi. Bikin ribet aja lo." Sena berpaling dari pria itu dan menghampiri Jeno yang masih terkapar di lantai dekat pintu depan. Kepalanya terhantam cukup kuat. Ia merasa sangat pusing dan rasanya hampir pingsan.

"Jeno, bang—"

Bruk!

Pria tadi tiba tiba menarik Sena dan membuat Sena terjatuh ke lantai. Sena terbaring, masih terkejut, dan pria itu tiba-tiba berada di atas badannya sekarang, lalu mencekik Sena sekuat tenaga.

"A–akh, le–pas!" Napas Sena semakin menipis dan wajahnya memerah. Ia mulai sesak namun ia masih berusaha untuk menendang dan memukul meskipun ia tak dapat banyak berpikir saat ini.

Pria itu tak berkata apapun. Senyuman mengerikannya cukup membuat Sena menutup matanya agar tak melihat wajah itu. Sena mencoba mencakar-cakar pria itu tapi tak ada gunanya. Pandangannya sudah semakin meredup. Pria itu tak memberikan ampun sama sekali.

"Anjing!!"

Brak!!

Tiba-tiba Jeno mendorong pria itu sekuat tenaga dari atas tubuh Sena. Jeno segera menjepit tubuh pria itu lalu memukul wajah pria itu tanpa ampun. Tak terlintas di pikirannya kalau pria yang ia hajar ini adalah ayah kandungnya. Tak peduli pula ia akan dosa. Pria bajingan ini sudah terlalu lama hidup.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang