15. Silver

310 43 0
                                    

Ada yang asing dari tingkah Yeri hari ini. Baru saja datang ke kelas, ia memakai masker dan bahkan memakai jaket asing dan tas yang tak biasa ia pakai. Ia terlihat seperti orang lain.

"Jen, awas," ucapnya pelan pada Jeno yang sedang asyik bercanda dengan Sena.

"Lo bukannya duduk sama Mark?" tanya Sena, sedikit sinis mengingat Yeri kemarin bermain riang dengan Somi dan Xiyeon.

"Jen, gua mau duduk sini, awas," ulang Yeri tanpa memedulikan ucapan Sena.

"Ga, Jeno duduk di sini sama gua. Cari tempat lain. Lagian kenapa lo ga duduk sama Mark aja sih?!" Sena mulai menaikkan nadanya dan membuat beberapa teman mereka menoleh.

Sebenarnya Sena dapat melihat kalau mata Yeri sembab dan merah. Ia juga terlihat lemas. Dirasa-rasa, teman sekelas mereka menatapi mereka lebih lama dari yang seharusnya. Maksudnya, sudah tak asing Sena berteriak di kelas, tapi kali ini mereka sedang menatapi Yeri.

Yeri tertegun saat Sena membentaknya. Ia tak mengaharapkan respon seperti ini dari Sena.

"Sana duduk sama Mark. Atau lo duduk aja sama Xiyeon, Somi." Sena memutar matanya sinis lalu kembali mengabaikan Yeri.

Jeno tiba-tiba berdiri dan mengangkat tasnya. "Yer, gapapa, duduk sini—"

"Jen!" Sena menarik tangan Jeno sampai Jeno kembali terduduk di kursi itu.

Mata Yeri berkaca-kaca. Sena tak peduli ada masalah apa yang menimpa Yeri. Hal tersebut bukan urusannya. Lagi pula, Yeri sudah punya teman baru untuk dimintai perlindungan dan menjadi tempat berkeluh kesah. Sena tak menerima pengkhianat untuk duduk di sampingnya.

"Sen, lo gak buka grup ya tadi malem?" tanya Jeno sambil sedikit menggeser bangkunya agar tepat di sebelah Sena.

"Enggak. Gua tidur, capek. Emang kenapa?" tanya Sena tak tertarik.

"Gua gak simpen, tapi, kemarin kayak ada akun anon join grup angkatan tiba-tiba. Akun itu nge-share foto nude Yeri, setelah 10 menit, di-unsend, terus dia left grup," bisik Jeno dan melihat sekitar.

Sena terhenti sebentar lalu menoleh Yeri yang duduk di pojok kelas satunya sendirian. Yeri benar-benar tak mau membuka maskernya. Ia duduk sendirian di sana dan tak mengobrol dengan siapapun.

"Difotoin orang?"

"Engga. Dia foto di kamar gitu. Terus ya, Mark menjauh dari dia. Lo tau Mark anaknya alim," ujar Jeno dan makin memelankan suara bicaranya.

Sena tersenyum sedikit, bahkan hampir tertawa. "She deserves it."

"Sen, gak gitu lah. Coba lo bayangin kalau kejadian kemarin banyak yang tahu." Tak habis pikir Jeno dengan kemana perginya nurani Sena ini.

"Gua sekarat dan dia jadi pelacur sekaligus pengkhianat beda dari gua yang sekarat, Jen. Jangan bandingin sesuatu yang gak setara." Sena menatap Jeno serius dan jelas tak ingin kalah argumen.

"Kenapa lo anggep dia pengkhianat?"

"Dia lupa kalo gua temennya. Dia malah main sama orang-orang yang gua gak suka."

Jeno menarik napas dalam-dalam lalu menatap Sena baik-baik. Ia harus selalu ingat kalau Sena berbeda dan tak dapat dibalas dengan emosi.

"Sen, Yeri bukan milik lo. Dia boleh main sama siapa aja yang dia mau. Musuh lo bukan berarti harus jadi musuh dia juga." Suara lembut Jeno terdengar menjijikan di telinga Sena. Sena tak mau mengerti, Sena masa bodoh. Yeri tak memenuhi kualifikasi untuk menjadi temannya. Masa bodoh jika orang itu terkena masalah.

"Gak tau, terserah. Intinya gua gak mau deket sama orang kayak gitu."

***

"Ya emang kamu pikir ini salah aku, hah?! Aku udah sekolahin dia! Kasih dia tutor yang bagus! Kamu pikir aku gak usaha?!!"

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang