21. Mengembara

280 44 3
                                    

"Ini kunci mobil gua. Gua taro di sini mobil gua. Jangan pernah balik lagi ke rumah. Abis ini langsung cari tempat lain buat nginep sementara ngehindar dari Mama. Lo gak usah sekolah. Gua pergi dulu."

Sena berdiri kaku di depan rumah kecil yang ia sudah cukup familiar sekarang. Ia kembali lagi ke sini, ke tempat yang tak mau ia datangi lagi sebenarnya.

Mengetuk pagarnya saja enggan. Padahal angin pagi buta jam 4 pagi ini sudah menusuk tulangnya. Ia membawa satu koper besar kali ini, tak tanggung. Tas ransel serta tas kecil lain juga ia bawa.

Tangannya masih sangat melepuh. Sempat diobati dan diperban melalui instruksi dokter di telepon. Mereka tak dapat mendatangkan dokter langsung, akan terjadi keributan lain dengan Mama di rumah.

Ia tak berani mengetuk pagar. Ia mengambil ponselnya, lalu menelepon si pemilik rumah agar tak membangunkan tetangga.

Suara ringtone terdengar dari dalam rumah kecil itu. Cukup lama sampai akhirnya suaranya berhenti.

"Halo?"

"Jen, gua di depan rumah lu."

"Hah? Ini siapa?"

"Sena."

Panggilan itu langsung mati. Tak lama, terdengar suara kunci yang sedang dibuka dari dalam rumah.

Pria dengan kaos putih oblong dan celana pendek itu muncul dengan matanya yang melotot namun masih mengantuk.

"Anjir, lo ngapain?!" bisik pria itu lalu membukakan pagar untuk Sena.

Sena masuk ke dalam teras lalu menunggu Jeno kembali mengunci pagar. Jeno otomatis saja mengangkat koper Sena ke dalam lalu mereka berdua masuk ke dalam rumah itu.

"Sen– anjir, ini jam 4 pagi! Lo ngapain di sini?!" Jeno mengerutkan dahinya sambil menatap jam dinding yang masih berdetak itu.

Sena sendiri kebingungan. Ini adalah tindakan impulsif kakaknya dan dirinya yang diam diam kabur dari rumah, lagi.

Sena tak berbicara apa-apa. Ia menurunkan hoodie jaketnya dari kepalanya lalu menarik lengan jaketnya perlahan.

"Apa lagi ini?" tanya Jeno yang sudah mulai frustasi.

"Lo benci banget ya gua dateng ke sini lagi?" Suara Sena jauh lebih kecil dari biasanya. Ia tak lagi memiliki kepercayaan diri. Ia hanya bisa menunjukkan betapa lemahnya ia, betapa ia membutuhkan pertolongan saat ini.

Sena tersenyum setelah Jeno kehilanngan kata-katanya. "Bener. Lo udah benci gua juga."

Ia tutup lengannya itu perlahan lalu memegang knop pintu. Kisah sedihnya tak laku untuk Jeno.

"Bukan gitu, Sen." Jeno menahan bahu Sena untuk tak pergi.

"Gua abis ngelakuin sesuatu yang ga seharusnya gua lakuin," ucap Jeno pelan.

Sena menatap Jeno serius, meminta penjelasan lebih lanjut. Jeno benar-benar kehilangan kata-katanya. Akhirnya ia menuntun Sena menuju kamarnya, dan menunjukkan Sena apa yang ia maksud.

"Gua kelewatan, Sen."

Seorang perempuan berambut panjang terbaring di kasur yang pernah Sena tiduri itu. Perempuan itu dibalut selimut, namun Sena tak yakin dengan apa yang di dalamnya. Satu hal yang Sena yakin, ia tahu siapa perempuan itu.

"Kenapa Xiyeon di sini?"

"Gua— ini ga kayak yang lu pikirin. Gua ga ngapa-ngapain dia. Dia sama aja kayak lo. Dia juga cuma curhat ke rumah gua dan, dan dia butuh gua tenangin. Gua peluk dia, udah. Tapi gua tau gua kelewatan. Gua ga seharusnya bawa perempuan lagi ke rumah gua," bisik Jeno lalu menutup pintu agar Xiyeon tak terbangun.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang