9. Jembatan

316 49 1
                                    

Sudah sekitar 10 menit kedua remaja itu memerhatikan matahari yang perlahan turun. Sorot mentari hangat seakan mengisi keheningan mereka yang hanya duduk diam dan tak berbicara apa-apa.

"Boleh juga ternyata duduk di sini." Sena kembali dalam mode anehnya. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Jeno lalu merangkul tangan Jeno.

Jeno hendak mengangkat kepala Sena sampai Sena sudah menahannya.

"Diem. Gua cakar lo kalo ga mau diem," ancam Sena sembari memamerkan kukunya yang baru mendapat perawatan.

Tak ditegur pula oleh guru-guru kuku stiletto hitamnya itu.

Ibu Sena sudah sering menyogok banyak guru agar Sena lepas dari masalah. Bagaimanapun, Sena tak akan mengubah kuku lancipnya itu.

"Kuku lo panjang banget," komentar Jeno begitu ia benar-benar memerhatikan jemari Sena.

Sena langsung duduk tegap dan tersenyum. Tentu saja, dengan senyuman sosiopatnya itu.

"Cantik, kan? Nanti mau gua bawa ke salon lagi. Kurang tajem yang ini. Gua ga bisa cakar orang sampe berdarah banyak kalo tumpul gini." Sena memainkan kukunya dan menggores pelan tangan Jeno, tepat di atas nadi-nadi Jeno yang terlihat dari luar kulit.

"Oh, BTW, Jen, tadi gua lihat ada warung deket sini. Lo ke warung sana. Beliin gua rokok sama cemilan." Sena merogoh saku kemejanya lalu memberikan uang dengan pecahan besar pada Jeno.

"Loh, lu ngerokok?" tanya Jeno sambil mengerutkan dahi kebingungan.

"Engga. Gua cuma penasaran aja. Gua ga pernah ada waktu dan tempat tanpa pengawasan orang tua gua. Jadi mumpung gua di sini, gua mau cobain," ucap Sena tanpa dosa.

"Sen, gua bawa lu ke sini buat cerita. Bukan buat bikin masalah," ujar Jeno tegas dan menatap Sena dengan cukup kesal. Tadi Sena menangis, marah, lalu sekarang sudah terlihat baik, bahkan sudah meminta hal-hal aneh lagi.

"Eish, kolot. Don't you want to have fun, Jen?" tanya Sena dengan mata berbinar.

"Buat apa bersenang-senang kayak gini. Ngabisin waktu. Hal kayak gitu ga ada gunanya, Sen." Jeno menyodorkan kembali uang itu pada Sena.

Sena menolak untuk menerimanya. Ia bukan meminta tolong, ia mendikte Jeno apa yang harus Jeno lakukan.

"Ya udah gua aja yang seneng-seneng. Sana beliin. Sisanya buat lo jajan," ujar Sena memaksa.

Jeno menarik napas dalam-dalam. Hidupnya tak terbiasa untuk marah pada orang lain ataupun untuk menolak permintaan orang lain. Mungkin selama hidupnya, ia terlalu baik.

Akhirnya Jeno pergi ke warung dekat sana. Selama menunggu, Sena memeluk lututnya dan merasakan dinginnya angin yang menerpa dirinya.

Jalanan terasa sangat ramai, namun ia merasa kesepian. Ia berkali-kali menghela napas lalu menatap ke arah matahari yang sedang terbenam. Sejujurnya, ia masih merasa kesal dengan sikap Yeri yang sangat sombong kepadanya tadi. Wanita tak tahu situasi, pikirnya.

Meskipun begitu, sesuatu di hatinya terasa mengganjal. Ia sedikit mempertanyakan apakah Yeri akan benar-benar meninggalkannya kali ini. Sena mungkin tak berperasaan, tapi ia dapat membaca emosi dan karakter orang lain dengan baik.

Ia akan kembali sendirian lagi seperti saat dulu. Mungkin besok, ia akan duduk sendirian di ujung kelas tanpa teman. Untuk beberapa saat, ia merasa lega, memiliki teman untuk menjadi sasaran tempat ia mengeluh dan menjadi parasit.

Teman adalah omong kosong. Begitu pula keluarga. Kita hanyalah seorang individu yang bergantung pada satu dan lainnya. Lemah. Sena lebih memilih untuk berdiri sendirian. Menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang