20. Alone

265 48 1
                                    

"Ya, ini hasil nilai ulangan harian kemarin, ya. Seminggu lagi kita sudah UAS. Jadi pertahankan nilainya. Renjun, nih, keren banget Bapak liat nilainya konsisten bagus terus. Malah si Sena nih yang naik turun."

Kicauan mulut tak peduli itu membuat seluruh kelas menatapi Sena di pojok ruangan. Sena duduk sendirian, sudah dua minggu. Jeno tak lagi menemaninya di sana. Yeri juga sudah mulai kembali menyesuaikan diri pada kelas dan hubungannya dengan Mark membaik.

Dari seluruh orang di sini, hanya dirinya yang dirundung sepi.

Ia tak berbicara pada siapapun setiap harinya. Biasanya, kelas diisi dengan jeritan marahnya pada semua orang yang membuatnya kesal. Tapi sudah dua minggu mulutnya terkunci rapat. Dua minggu juga setelah Jeno memutuskan untuk pergi dari hidupnya.

"Nih, Renjun, tolong bagikan hasil ulangannya."

Tersebar seluruh hasil ulangan harian Matematika itu. Sampailah kertas terkutuk itu pada Sena.

Nilainya turun drastis. 70.

Ia menarik napasnya dalam-dalam dan mencoba menahan ledakan di dalam dirinya. Tangannya mengepal begitu saja dan ia siap memukul apapun. Tapi, siapa pula dirinya. Kepercayaan dirinya untuk melawan semua orang sudah hancur.

Sementara itu, Jeno di bangku depan terlihat bahagia dengan hasil ulangannya. Nilai ulangannya beda tipis dengan Renjun. Ia memang belajar keras untuk ulangan kali itu.

Sena menatapi pria itu yang tersenyum bahagia. Ditambah, beberapa temannya menyanjungnya dengan nilai bagusnya itu. Ia berhasil menyingkirkan peringkat 2 di kelas. Sekarang ialah si peringkat 2 di kelas.

"Baik kelas hari ini saya cukupkan. Jangan keluar dulu, tunggu bel bunyi, ya. Minggu depan ujian, jangan kendor belajarnya ya." Pak Kyuhyun berjalan keluar kelas lalu kelas mendadak ramai karena mereka saling mengoreksi kertas ulangan masing-masing.

Sena tak tertarik. Ia hanya langsung membereskan tasnya, menyimpan hasil ujian itu di map dengan rapi agar dapat ia berikan sebagai tiket penyiksaan hari ini.

Ia bangkit dari bangkunya dan mencoba menegakkan badannya. Punggungnya masih sakit dari tendangan ayahnya tempo hari. Bukan hanya ujian Matematika yang mengecewakan, semua pelajaran juga turun drastis. Tak ada hasil ulangannya yang menyentuh angka 90 lagi.

Ia berjalan dari belakang kelas menuju ke luar kelas, tapi seseorang menghentikannya.

"Eh, Sena, lo kenapa?" tanya Mark yang sedang berdiri di meja Jeno.

Sena terhenti dan menatap Mark kosong, tak menjawab apa-apa lalu menantikan jawaban lebih lanjut.

"Itu, lo mimisan. Bentar gua ambilin tisu," ujar Mark lalu dengan sigap berjalan ke mejanya untuk mengambilkan tisu.

Jeno melirik Sena canggung. Ia tak bertanya, hanya melirik, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa peduli pada sosok perempuan di samping mejanya itu.

"Nih. Lo mau ke UKS dulu, ga? Apa udah dijemput?" tanya Mark sambil menyodorkan setumpuk tisu miliknya.

"Iya, udah dijemput." Sena mengusap hidungnya tanpa tisu lalu menatap bekas darah di tangannya.

Di saat seperti ini pun, ia masih menolak uluran tangan orang lain.

Sena telah kehilangan harapannya pada manusia lain. Tak ada manusia yang benar-benar peduli padanya. Ia tak lagi ingin menaruh harapan, langsung ia tolak segala afeksi agar dirinya tak kembali menjadi manusia bodoh seperti saat ia mengandalkan Jeno dulu.

Pada faktanya, Jeno sekarang tak melirik perempuan dengan hidung berdarahnya. Jeno sibuk membereskan barangnya, lalu memakai tasnya.

"Mark, gua cabut," ujar Jeno lalu berjalan keluar dan meninggalkan Mark yang digantung oleh Sena.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang