6. Nol Kilometer

374 56 0
                                    

"Sen..."

Jeno menepuk-nepuk punggung Sena dalam dekapannya. Sena menangis cukup lama, sekitar lima menit.

Bug!

Sena tiba-tiba mendorong dada Jeno lalu menghapus air matanya. "Eish apaan sih lo," ujar Sena, sambil merasa canggung atas tangisan lebay-nya tadi.

"Eh-" Jeno sedikit membuka mulutnya, bingung sendiri atas kelakuan Sena yang tiba-tiba berubah mood secepat kilat.

"Ayo, temenin gua ke bis." Sena merangkul tangan kanan Jeno lalu berjalan di pinggir jalan bersama Jeno.

Jeno sebenarnya sangat bingung. Anak ini tadi menangis, sekarang kembali lagi menjadi perempuan blak-blakan yang ia ketahui. Suasana hatinya berubah-ubah. Akhirnya Jeno hanya menghela napas dan membiarkan Sena merangkul tangannya.

"Kok lo nyusul gua ke sini? Nyariin gua ya lo?" Sena menatap Jeno yang sedang fokus berjalan dan menutup mulutnya rapat-rapat.

"Iya. Takutnya lo berulah terus gua jadi kena masalah," jawabnya lalu menurunkan tangan Sena dari lengan atasnya.

"Gini aja." Jeno menautkan jemarinya dengan jemari Sena. Ia tak nyaman dirangkul seperti tadi karena terasa canggung, tapi seperti ini lebih baik.

Sena tersenyum riang dengan mata yang hampir semerah bibirnya. Ia bahkan berjalan dengan sedikit melompat-lompat sekarang.

"Perhatian banget lo sama gua. Lo suka ya sama gua?" Sena membuat Jeno berhenti tiba-tiba.

"Iya, dalem mimpi lo," jawab Jeno lalu tiba-tiba memindahkan Sena ke sebelah kirinya dan kembali menggenggam tangannya. Jeno takut kalau-kalau ada kendaraan atau orang yang lewat di sampingnya.

Senggol sedikit, Sena bisa membuat orang tadi kehilangan anggota tubuhnya.

Mereka keluar dari area candi, lalu menemui deretan pedagang kaki lima. Jualannya ada macam-macam di sini.

"Sini, yuk." Jeno menarik Sena pada sebuah warung es kelapa muda yang menjual es kelapa langsung dari batok kelapanya.

"Mau ga?" tanya Jeno saat memasuki warung itu. Sena mengangguk kegirangan. Tenggorokannya memang terasa kering setelah menangis tadi.

"Mbak, es kelapanya dua, yo. Di kelapanya langsung," ucap Jeno pada penjual es kelapa paruh baya itu.

"Nggih, Mas," jawab wanita itu lalu menyampaikan pesanannya pada mas-mas yang lebih muda untuk membuka kelapa dengan golok besarnya.

Mereka duduk di sebuah kursi panjang. Agak sepi, mungkin karena ini bukan hari libur dan teman-teman mereka masih menikmati waktunya untuk berfoto-foto di candi.

Jeno mau menarik tangan kirinya untuk diletakkan di atas meja, tapi tangan Sena terus menggenggam erat tangan itu, seperti takut Jeno akan lari tiba-tiba.

"Lo kenapa, sih? Sakit?" Jeno menatap Sena lekat-lekat. Sedikit kesal, sebenarnya.

"Iya. Di candi terlalu banyak orang. Kepala gua jadi sakit. Berisik banget orang-orang," jawab Sena lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Jeno tiba-tiba.

"Sen, bisa ga, ga nempel-nempel mulu?" Jeno mendorong pelan kepala Sena agar ia kembali duduk tegak.

"Hehe. Salahin badan lo, lah. Kenapa keliatan enak buat disenderin?"

Jeno memutar matanya lalu kembali menatap wajah Sena yang senyum-senyum sumringah dengan perkataannya sendiri.

"Ngomong-ngomong, kayaknya yang lo pake di mata itu luntur. Apa sih, yang lu gitu-gituin?" Telunjuk Jeno mendemonstrasikan maksud dari otaknya, lalu hampir mencolok-colok matanya sendiri.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang