19. Inang

290 44 3
                                    

"Masuk ke kamar kamu! Nanti malam Papa kamu pulang. Kamu sudah kelewatan, Sena!"

Mama mendorong Sena ke dalam kamarnya kuat-kuat. Perempuan yang masih syok dan dirundung rasa takut itu tak banyak melawan.

"Mana HP kamu?!" Tas Sena yang terjatuh ke lantai langsung dirampas oleh Mama dan digeledah. Semua barang dikeluarkan dari tasnya termasuk uang yang Sena tumpuk untuk kabur kemarin.

"Kamu ini bener-bener ya, Sena. Kamu mau jadi apa sih sebenernya?! Mau jadi pelacur beneran, iya?! Kabur bawa uang sebanyak ini ke rumah cowo. Gak sekalian hamil aja kamu?!" bentak Mama pada Sena yang terkulai lemas di atas kasur.

"Awas kamu, Sena. Gak usah makan kamu sampai besok."

Mama mengambil semua uang Sena dan ponselnya. Ia mengambil kunci kamar Sena lalu mengunci Sena dari luar. Tak membiarkan perempuan ini punya waktu untuk bernapas.

Sena terduduk lemas di atas kasur. Tangannya gemetar hebat. Ia merebahkan dirinya ke atas kasur lalu memeluk dirinya sendiri. Bayang-bayang atas ayahnya yang akan memecutnya membuat sekujur badannya dingin dan kaku.

Ia sangat ingin mati sekarang. Namun tubuhnya bahkan tak punya cukup tenaga untuk mengambil benda tajam dan menusuknya tubuhnya sendiri. Ia akan membiarkan dirinya mati kelaparan seperti apa yang Mama mau.

***

"Sena? Dek, bangun. Disuruh sama Nyonya sekolah."

Sena merenggangkan badannya sedikit lalu menatap ke langit-langit. Masih diberi nyawa rupanya ia hari ini meskipun perutnya sudah perih minta ampun.

Bayang-bayang Mbak yang berdiri cemas di samping kasur membuat Sena mengedipkan matanya berkali-kali. Ia duduk di atas kasur, lalu mencoba mengumpulkan tenaganya.

Wow, sepertinya ia tertidur sampai 15 jam. Entah apa yang terjadi, tubuhnya tak bangun-bangun. Kalau Mbak tak membangunkannya, mungkin ia bisa tidur selamanya.

"Iya, Mbak," ujarnya datar lalu pergi ke kamar mandi seperti biasa.

Ia lakukan rutinitas hariannya seperti biasa. Seperti tak ada yang terjadi, ia bersiap untuk ke sekolah. Sepertinya Papa tak pulang tadi malam. Tubuhnya masih utuh. Mungkin ini jadwalnya untuk pergi ke hotel bersama wanita-wanita muda.

Setelah bersiap ia turun ke bawah. Mama sudah menunggu bersama Kak Sehun yang telah menyantap makanannya.

"Ayo, Sena. Mama anter kamu biar ga keluyuran lagi kamu," ujar Mama lalu langsung berjalan keluar.

"Sen," panggil Kak Sehun lalu menghampirinya. Ia menyodorkan roti isinya yang telah tergigit setengahnya.

"Mama ga bikinin lo sarapan. Ini, makan sebelum ke mobil. Cepet," ujar Kak Sehun dengan suara datarnya. Sena menatap Kak Sehun berkali-kali. Memastikan kakaknya itu benar-benar mengatakan hal tadi dan bukan hanya halusinasi Sena semata.

"Cepetan." Kak Sehun menarik tangan Sena lalu meletakkan roti isinya tersebut.

Sena langsung memakan roti isi tersebut. Gila, rasanya seperti surga. Ia memakannya dengan lahap. Perutnya sudah meraung-raung. Jika asam lambung ini dapat ia keluarkan, mungkin dapat dituangkan pada cangkir kopi.

Tanpa terima kasih terucap, Sena hanya menyunggingkan bibirnya canggung lalu berjalan keluar sambil mengunyah gigitan terakhirnya itu. Tak pernah ia belajar untuk mengucap terima kasih pada kakaknya.

"Sama-sama," ucap Kak Sehun, menyindir.

***

"Nanti Mama jemput lagi," ujar Mama di lobby sekolah. Sena mengangguk patuh lalu berjalan ke arah kelasnya tanpa semangat.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang