22. Rollercoaster

305 43 5
                                    

"Hai, Sen."

Pria tinggi dengan hoodie hitam khas dan kacamata tebalnya itu sampai di depan kamar hotel. Sena yang kebetulan sedang mengganti perbannya, membukakan pintu dengan sikunya.

"Oh, hai." Sena mundur dari pintu lalu membiarkan Jeno masuk ke dalam.

Di atas kasur sudah berantakan bungkusan kasa dan obat-obat untuk lukanya. Ada beberapa titik di jarinya yang menunjukkan penumpukan cairan karena disiram air panas kemarin.

Jeno yang baru datang dan baru melihat luka di balik perban itu merasa linu.

"Duduk di mana aja, terserah," ucap Sena lalu kembali duduk di kasur dan mencoba memasangkan perban pada lukanya.

Hal ini merepotkan. Ia tak dapat menahan perbannya dengan baik saat dililitkan dengan hanya menggunakan satu tangan. Apalagi untuk seorang Sena yang seumur hidupnya tak pernah mengasah keterampilan macam ini.

"Sini gua pakein perbannya," ujar Jeno lalu mengambil kasa yang dipegang oleh Sena.

Sena tak banyak protes. Sesungguhnya ia masih merasa sedikit canggung setelah melewati hari-hari tanpa berbicara dengan Jeno. Jeno jadi terasa asing, walau hanya dalam jarak dua minggu.

Jeno mulai memasangkan perban dari bagian dua per tiga lengan bawah, dekat pergelangan tangan, tempat luka Sena berada. Tangannya sangat lembut dalam menempatkan perban itu. Ia memastikan tak ada tekanan yang akan membuat luka itu sakit.

Sena memandangi Jeno yang duduk di hadapannya dengan jarak dekat. Awalnya ia hendak tersenyum sampai bayangan Xiyeon di atas kasur Jeno kembali ke otaknya.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Sena sembari menatapi tangan lihai Jeno.

"Mau minta maaf," ucap Jeno yang masih fokus dengan tangan Sena.

"Buat apaan?" tanya Sena lagi namun kali ini ia menatap Jeno.

"Sebentar, Sena. Abis ini gua ngomong." Jeno memutus percakapan itu dan ruangan kembali hening.

"Ah!" Sena sedikit meringis saat Jeno tak sengaja menekan bagian lukanya yang paling sakit.

Jeno berhenti sebentar lalu memandangi wajah Sena. Di dekat dahi Sena terlihat luka kemerahan yang cukup besar sebenarnya. Jeno menghela napasnya lalu kembali melanjutkan pekerjaannya itu.

Setelah selesai, Jeno mengambil salep yang ada di dekat kotak kasa lalu membaca kemasan salep itu. Ia langsung membuka tutupnya lalu memakaikannya sedikit ke dahi Sena.

"Lo kenapa sih kayak gini?" Sena memundurkan kepalanya dan mengerutkan dahinya.

"Dua minggu lo diemin gua. Gua ngemis perhatian sama lo dari kemaren tapi ga lo gubris sama sekali. Terus tiba-tiba lo datengin gua dan bersikap manis kayak gini. Lo kenapa sih?" Sena akhirnya memulai pembicaraan serius itu. Walau ia senang Jeno memerhatikannya, ia tak akan lupa atas hal-hal yang Jeno lakukan belakangan ini.

Jeno menarik napasnya lalu berdiri dan menjauhi Sena. Ia melepas hoodie yang ia pakai karena entah mengapa tubuhnya merasa panas setelah Sena menanyakan hal itu. Dengan hanya berbalut kaus hitam di dalamnya jaket itu, Jeno duduk di kursi dekat meja.

"Kalo gua minta maaf, lo mau maafin gua, Sen?" tanya Jeno yang bersandar ke kursi lalu menatap tembok kosong.

"Minta maaf karena apa?" tanya Sena dengan intonasi tidak menyenangkan.

"Karena gua ninggalin lo di titik terendah lo. Karena gua ngebiarin lo kesakitan sendirian. Karena gua egois dan cuma mau seneng sendiri. Dan karena, karena ada Xiyeon di rumah gua tadi pagi."

Sena memutar bola matanya, "Apa urusannya sama Xiyeon di rumah lo? Ya itu hak lo."

"Gua bohong sama lo tentang Xiyeon tadi." Jeno menyatukan tangannya dan tak mau menatap Sena.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang