18. Hilang Batas

409 44 0
                                    

Setelah diam selama beberapa detik, Sena tersadar dan langsung mendorong badan Jeno kuat-kuat.

Plak!!

Sebuah tamparan keras dari Sena melayang di pipi Jeno tanpa ampun. Sena mengatur napasnya karena ia merasa marah, entah mengapa, tapi ia tak sanggup untuk mengeluarkan sumpah serapahnya.

Jeno terdiam dan merasakan sisa-sisa tamparan keras itu. Tanpa berbicara apapun, Sena masuk ke kamar Jeno lalu mengunci kamar itu dari dalam.

Sena cukup terkejut. Tangannya sedikit gemetar setelah menampar Jeno tadi. Ia menyentuh bibirnya lalu menjambak rambutnya.

Alih-alih merasa hal itu manis, Sena malah semakin ingin menjambak Jeno. Entah kecupan Jeno atau tamparan Sena, dua-duanya sama-sama spontan dan tak memikirkan perasaan satu sama lain.

Jeno masih terdiam di ruang tamu dan mengelus pipinya sedikit. Setan yang merasukinya baru saja pergi dan meninggalkan sisi polos Jeno bersama rasa bersalahnya. Ia, sungguh ia tak habis pikir pada dirinya sendiri mengapa ia melakukan hal seperti itu.

Di dalam kamar, napas Sena memburu. Jantungnya berdegup dengan cepat. Kamar Jeno terasa lebih dingin dari biasanya, tapi ia berkeringat.

Sena sama sekali tak pernah mengharapkan hal itu terjadi. Jeno, pria itu ternyata penuh kejutan. Di saat-saat yang malah lebih romantis, Jeno malah sama sekali tak berusaha untuk melakukan apa-apa. Tapi momen seperti tadi, Jeno malah lepas kendali dan melakukan hal yang merusak Sena.

Ya, merusak. Sena merasa agak rusak. Sena bukan perempuan naif dan konservatif. Ia menyukai adegan ciuman romantis di series Netflix yang diam-diam ia tonton pada jam belajarnya. Ia menyukai momen-momen romantis. Hanya saja, orang tuanya membuatnya harus menjadi wanita suci.

Bukan biarawati, maksudnya. Sena selalu dianggap sebagai objek spesial. Tak boleh tersentuh oleh siapapun. Jangankan berciuman, jika orang tuanya tahu Jeno sering menyentuhnya, ia akan dianggap rusak.

Sena terduduk di lantai. Pikirannya bercampur aduk. Barisan dosa berjejer menghinanya. Ia teringat segala hal yang ia sudah lakukan bersama Jeno. Banyak. Entah pertama kali membuka diri pada Jeno di Candi Prambanan, sampai tidur semalaman seranjang bersama pria itu. Sekarang barisan dosa itu bertambah satu personil.

Ia termenung, sendirian, termakan oleh tuntutan. Menyalahkan dirinya atas kebebasannya.

***

Pukul 12 malam, Sena tak kunjung tidur. Matanya lelah dan sakit setelah menangis menyalahkan dirinya sendiri. Menghina dirinya setelah menjadi wanita berdosa selama ini. Maksudnya, berdosa atas agama yang orang tuanya buat.

Sena mengoprek tas ranselnya, lalu mengambil ponsel yang telah ia matikan dari kemarin. Ia terduduk di lantai kamar Jeno yang dingin lalu menunggu ponsel itu menyala.

Puluhan notifikasi menyerbu layar ponselnya. Dari Mama, Papa, Kak Sehun, bahkan Yeri.

 Dari Mama, Papa, Kak Sehun, bahkan Yeri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang