30. Penumpang

225 34 5
                                    

Jam 11 malam mereka baru saja kembali dari pantai. Sena buru-buru masuk ke dalam agar tak lagi menjadi bahan obrolan warga walau mau bagaimanapun, mereka akan terus menjadi pusat perhatian.

Jeno masih sibuk untuk membersihkan mobil yang terisi oleh sedikit pasir karena mereka tadi. Walau ini bukan mobilnya, tapi ia juga memakai mobil ini. Lagi pula, Sena tak akan peduli dengan kondisi mobilnya itu.

Saat sedang membersihkan mobil ia melihat Sungchan menghampirinya dari arah rumahnya. Aneh, seharusnya orang-orang sudah tak berkeliaran di luar lagi jam segini.

"A, dari mana?" sapa Sungchan sambil berlari kecil dan memerhatikan Jeno yang sedang membuka seluruh pintu mobil.

"Ini abis dari pantai, Chan. Ko maneh di luar?" tanya Jeno lalu mulai menutup pintu mobil.

"Em, ini, A, aing mau ngasih tau aja." Sungchan memelankan suaranya lalu mendekati Jeno. Ia sedikit menarik Jeno ke teras rumah Nenek dan berbisik.

"Tadi aing denger Indung (ibu) aing teleponan. Gak tau sama siapa. Tapi aing denger nyebut-nyebut si Sena terus kayak ada orang mau dateng ke sini. Maneh bukannya lagi kabur ya sama si Sena?" tanya Sungchan sambil melirik kanan kiri.

"Hah? Siapa yang teleponan sama Uwa? Ko bisa sebut Sena?" tanya Jeno sambil mengerutkan dahinya.

"Teu nyaho. Indung maneh mereun?" (Gak tahu. Ibumu bukan?)

"Ibu aing gak tau aing ke sini, Chan. Tetangga di rumah juga gak tau aing ke sini."

Sungchan menarik napas lalu menatap ke arah rumahnya. Jantungnya ikut berdegup kencang. Rasanya seperti ia mengkhianati ibunya sendiri.

"Maneh harus pergi cepet-cepet, Jen. Perasaan aing gak enak."

Jeno bersandar di tembok lalu menunduk dan mengusap wajahnya. Sungchan hanya bisa menepuk bahunya sambil memberikan dukungan secara tidak langsung.

"Aing salah gak sih kayak gini? Semua orang nganggepnya salah. Sena di rumah tuh susah, Chan. Disiksa sama orang tuanya. Semua orang cuma tau Sena luarnya aja. Gak ada yang tau apa yang Sena alamin di rumah." Jeno mengacak-acak rambutnya kasar. Ia mulai memikirkan segala rencana acak di otaknya.

"Maneh sadar gak sih, maneh teh sama aja sama si Sena. Semua orang juga gak ada yang tau dalemnya keluarga maneh kayak gimana. Jen, cuma pesen aja, maneh juga harus ngelindungin diri sendiri. Jangan berkorban terus," ujar Sungchan.

"Terus si Sena gimana?"

"Aing gak tau. Aing cuma pesen aja. Hati-hati, Jen. Apa kata orang kota? Good luck, kitu."

***

Jam 1 malam. Jeno masih belum bisa memikirkan jalan keluar saat ini. Ia tak ingin impulsif. Tapi ada kemungkinan kalau orang tua Sena akan datang pagi ini. Ia juga tak mau membuat Sena panik. Tak ingin sedikitpun ia mau Sena tahu tentang hal ini.

Tok. Tok.

"Jen? Belum tidur?" Sena membuka pintu kamar Jeno.

Jeno langsung mengambil buku di samping bantalnya dan pura-pura sedang membaca buku.

"Belum. Kenapa?" tanya Jeno dan menurunkan buku itu.

Sena duduk di ujung kasur Jeno lalu menatap ke seluruh ruangan yang lebih kecil dari kamar yang ia tempati.

"Engga. Gua kira lo ketiduran soalnya lampu kamar lo masih nyala. Lo ngapain jam segini baca buku? Rajin banget?" tanya Sena sambil mengangkat buku yang Jeno pegang.

"Udah kebiasaan aja," jawab Jeno santai lalu mulai duduk tegak di kasur.

Jeno berdeham kecil lalu menatap Sena cukup serius.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang