14. Pelarian

337 41 0
                                    

Jeno mengintip ke luar sebentar. Sangat sepi, mungkin satpam-satpam sedang menyesap kopi hitam sachetan di pos mereka yang agak lebih di depan. Jeno baru sadar kalau jendela mobil Sena memiliki tirai penutup yang bisa dipasangkan.

Bagus, Jeno langsung menutup semua tirai itu. Kaca film mobil Sena juga tebal dan langit sudah mulai gelap. Semoga tak ada yang melihat aksi tak senonoh terpaksanya kali ini.

"Sen, gua ga tau lo denger apa engga, tapi maaf, maaf banget."

Ia menarik napasnya dalam-dalam agar jantungnya lebih tenang sedikit. Jujur saja, ia panik bukan main. Rasanya seperti sangat diawasi.

Ia menarik kaus hitamnya ke atas lalu sedikit melemparkannya ke kursi depan. Helaan napasnya mengiringi setiap ia melepas pakaiannya. Kini celananya yang ia lepas dari tubuhnya.

Tunggu, apa maksud Lia tadi ia harus telanjang bulat?

Jeno menutup matanya dan meremas jok mobil. Tidak, ia harap celana dalamnya ini tak perlu ia lepas. Ia harus menjaga harga dirinya setidaknya sedikit.

"Sen. Maaf. Maaf gua kayak gini."

Tak ada jawaban dari bibir Sena yang mulai membiru. Suhu badannya semakin menurun. Jawaban dari sedikit ekspresi otot wajahnya juga tak ada. Semoga saja Sena tak mencabik-cabik Jeno setelah ini.

Jemari Jeno melucuti pakaian Sena perlahan-lahan. Matanya sama sekali tak mau menatap ke tubuh perempuan itu. Ia takut. Entah takut apa, yang jelas ia takut. Ia terhenti saat bra dan celana dalam Sena tersisa di tubuhnya.

"Ya Tuhan..."

Jeno sedikit terkejut. Tubuh Sena ternyata lebih kurus dari yang ia bayangkan selama ini. Goresan luka di pahanya sangat banyak. Terlihat dalam. Bahkan ada beberapa luka yang belum sepenuhnya kering di atas jaringan parut yang sudah membuat tekstur baru itu. Punggung Sena juga banyak cacat. Lebam sana-sini. Tak heran jika Sena sering terlihat lesu. Begitu banyak cerita dari balik pakaiannya.

Jeno mulai mendekatkan tubuhnya pada Sena. Haruskah ia lepas bra Sena? Tapi ini daerah intim Sena. Mungkin ia adalah pria pertama yang melihatnya. Ini juga pertama kalinya Jeno akan melihat seorang perempuan seterbuka ini secara langsung.

"Sen. Tolong tampar gua kalau lo udah sembuh."

Pikirannya sudah ketok palu, ia membuka bra itu tanpa mencoba melihat isinya, walau ekor matanya dapat melihat bayangan bentuk indah itu. Setelah melepasnya, ia langsung mendekap Sena erat lalu menyelimuti tubuh mereka dengan handuk kering dan pakaian-pakaian mereka. Jaket Jeno cukup tebal dan lebar, ia selimuti Sena menggunakan jaketnya.

Aneh. Sentuhan kulit di tubuhnya ini terasa sangat asing. Entah karena takut atau apa, Jeno tak terangsang dengan hal ini. Ia malah berkeringat dan ikut berdebar.

Ah, posisi ini juga tak mengenakkan atau efisien. Jeno hanya memeluk bagian atas Sena dekat bahunya. Dengan segala pertimbangan kilat yang ia buat, termasuk menimbang mobil Sena yang tak memiliki ruang banyak seperti mobil keluarga, ia akhirnya mengangkat Sena dan membuatnya duduk di atas pangkuan Jeno. Jeno mencoba sebisa mungkin agar segala panas tubuhnya dapat diterima oleh Sena. Suhu tubuh Jeno sudah sangat tinggi sekarang. Ia bahkan agak berkeringat. Sena belum merespon apa-apa. Ia tak tertidur, tapi ia tak bisa merespon sama sekali.

Beruntung tubuh Jeno cukup besar untuk dapat mendekap tubuh Sena. Seluruh bidang bahu dan dada Jeno menjadi sandaran nyaman untuk Sena walau terasa keras. Tangan-tangan Jeno juga tak tinggal diam. Dielusnya punggung Sena agar ada sedikit panas yang hadir dari gesekan kulit mereka.

Dalam keheningan suara mesin mobil, Jeno sedikit larut dalam pikirannya. Ia sandarkan kepala Sena pada bahunya. Dirinya juga terlempar ke memori saat di rumah mereka waktu itu. Sial juga ia harus terperangkap dalam kondisi seperti ini lagi.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang