11. Sumbangan

304 46 0
                                    

Ddrrrrttt.

Suasana serius di ruang UKS mendadak terpecah oleh getaran yang berasal dari ponsel Sena. Ia mengambil ponsel berwarna rose gold-nya itu lalu menatap layarnya dengan mata yang sudah lelah untuk tetap terbuka.

Telepon dari Mama rupanya. Pasti Mama telah menunggu di lobi sekolah dan sudah siap untuk membawa Sena pulang ke rumah dan kembali menjalankan tutor tanpa henti itu. Sena sedikit melempar ponselnya ke atas perutnya yang kosong itu, lalu kembali menutup mata.

"Siapa, Sen?" tanya Jeno sambil sedikit mengintip layar ponsel sena yang masih bergetar itu.

"Nenek lampir," jawabnya lalu menutup matanya dengan lengan kurusnya.

Tawa Jeno sudah berada di ujung bibirnya, sayang tak dapat ia lepaskan karena ia masih menghormati orang tua Sena. Jeno hanya dapat menghela napasnya sambil memutar otaknya agar Sena dapat kembali sehat. Agak ragu untuk mengembalikannya pada orang tuanya, meningat orang tuanya tak ada ampun pada putri bungsunya ini.

"Lo udah dijemput? Pulang aja, Sen. Nanti gua bilangin ke ibu lo kalo lo sakit." Jeno mengangkat tubuhnya dan sedikit menarik tangan Sena dari kasur UKS. Wajah Sena masih sangat pucat, namun ia terlihat lebih baik.

Sena mengangkat tubuh ringannya yang terasa ditimpa beban seratus ton itu lalu duduk di kasur sementara. Niatnya ingin mengambil napas sebentar sebelum kembali ke rumah nerakanya. Jeno bersiap-siap untuk pulang juga dengan merapikan seragamnya yang sedikit berantakan karena menggendong Sena tadi.

"Pft. Haha. Jen, liat deh."

Sena mengusap hidungnya lalu mengangkat jemarinya persis ke depan wajah Jeno. Awalnya Jeno pikir apa, tapi ternyata hidung Sena berdarah, ia mimisan.

Aliran darah itu mengalir cukup deras rupanya. Secepat kilat, Jeno mengobrak-abrik lemari obat di UKS lalu mengambilkan kapas dan tisu untuk Sena. Entah mana yang Sena suka, tak tahu. Ia hanya bersikap cepat agar darah di wajah Sena tak lebih meleber dari sekarang. Darah itu sudah sampai ke bibirnya dan sudah bisa dijadikan perona bibir dengan jumlah yang sebanyak itu.

"Panik banget, orang cuma mimisan doang." Sena mengambil sehelai tisu lalu menyumbat lubang hidung kanannya yang mimisan. Sisa darah di bibirnya hanya ia usap dengan kasar dan malah membuat darahnya berantakan ke mana-mana.

"Bersihin yang bener. Lo jadi kayak abis makan orang." Sudah tak tahan Jeno melihat kecerobohan Sena ini. Ia langsung ambil alih dan kembali duduk di kasur, mengambil beberapa helai tisu, lalu mengusap sekitar bibir Sena yang ternoda darah.

"Ssshh. Nanti ada yang tau kalo gua suka makan orang." Masih bisa tertawa si gila ini, otaknya sehat.

Jeno terkekeh kecil dan masih mengusap bibir Sena dengan noda darah yang sudah cukup menempel di kulitnya. Sena kembali terdiam sambil memandangi ponselnya yang terus berdering.

"Udah, jangan kelamaan. Kelamaan liatin bibir gua nanti pengen lo cium lagi." Sena mendorong tangan Jeno dari wajahnya lalu mencoba berdiri.

Uh, ia seperti menginjak balon air. Lantai terasa bergelombang dan tidak stabil. Sayup-sayup cahaya UKS kini berkelap-kelip aneh. Jeno sedikit mengawasi tubuh Sena yang sempoyongan. Langkahnya sudah seperti orang mabuk saja.

"Lo serius mau pulang sekarang? Lo masih pusing ga?" Jeno mengambilkan tas Sena dari kasur lalu memasangkannya ke punggung Sena. Sena yang masih lemas hanya mengangguk pasrah.

"Mama gua udah nungguin. Tau lah, Mama gua juga sama aja gilanya. Entar dia malah obrak-abrik sekolah kalau gua belum keluar." Sena perlahan melangkah keluar UKS dengan Jeno yang mengikutinya dari belakang.

Jeno mengantar Sena sampai ke depan sekolah. Sena benar-benar seperti orang mabuk, kakinya menyilang ke kanan dan kiri, langkahnya tak tentu. Matanya beberapa kali mengerjap pelan. Cahaya dari luar sekolah yang terasa intens membuatnya semakin pusing. Ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan mencoba menyuruh untuk sistemnya tetap sadar.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang