24. Back Hug

404 38 2
                                    

"Ish, macet banget. Ini kita kapan nyampe Bandung?"

"Sabar."

Sena melipat tangannya setelah mendapat respon dingin dari Jeno. Ia mendecak sebal karena harus tertahan oleh sistem buka tutup jalan dan terjebak dalam antrian mobil ini.

Seperti kemarin-kemarin, langit sedang hobi gerimis dan membuat suasana jadi lebih sayu. Sena hanya bisa mengangkat kakinya ke atas jok sambil bersandar ke jok yang telah ia turunkan sandarannya.

"Ngomong-ngomong, lo rencana kabur berapa lama?" tanya Jeno yang sudah mengangkat tangannya dari stir mobil.

"Selamanya. Gua gak akan balik lagi ke rumah," ujar Sena lalu menoleh.

Jeno ikut-ikut menurunkan sandaran joknya lalu menatap Sena.

"Lo jangan bercanda," ujarnya serius.

"Kapan gua bercanda?" tegas Sena. Raut wajah Sena memang tak terlihat bercanda sama sekali.

"Lo gak expect gua bakal kabur selamanya gini ya? Gapapa, Jen. Kalo nanti lo mau balik ke sekolah lagi, gapapa. Gua emang gak berniat balik lagi ke rumah." Sena menarik tangan Jeno dan menggenggamnya.

Jeno terdiam sebentar sambil menatap rintikan hujan yang menghantam jendela mobil. Ia menarik napas dalam-dalam.

"Berarti kalo gua balik ke sini, gua gak akan bisa liat lu lagi?" tanya Jeno tanpa mau menatap Sena.

"Ya, gitu."

"Terus buat apa kita pacaran?"

Mulut Sena langsung terkatup rapat. Dari lubuk hatinya, ia memang merasa nyaman di sekitar Jeno. Tapi berpacaran merupakan hal asing untuknya. Ia bahkan tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menjadi seorang pacar yang baik.

"Tapi emang gitu kan? Semua orang yang pacaran pada akhirnya putus?" ujar Sena, tak merasa sensitif terhadap perasaan Jeno sama sekali.

"Ck, pikiran macem apa itu? Ya orang pacaran maunya sama-sama terus, lah." Jeno mulai mengerutkan dahinya dan terlihat kesal.

Baru sekitar seminggu mereka berpacaran, tapi mereka sudah digeluti oleh berbagai macam argumen.

"Ga realistis. Kalo gitu kenapa gak nikah aja?" tanya Sena lagi yang masih tak mau kalah. Ia sampai duduk tegak untuk melawan argumen Jeno.

"Karena menikah gak sebercanda itu, Sena. Menikah itu suci. Kalo pacaran, lo masih bisa liat karakter pasangan lo sebelum lo memutuskan untuk menikahi dia. Kalo udah nikah, ya ga bisa. Kalo udah nikah udah terikat, dan seharusnya gak pisah," ujar Jeno panjang lebar.

"Berarti gua bener, dong? Yang gak berpisah itu nikah, kalo pacaran ya ujung ujungnya pisah?"

Jeno menghela napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Kasih gua 10 soal matematika utbk deh daripada suruh mikirin ginian." Jeno memijat kepalanya yang sudah mumet dengan segala pertanyaan Sena.

"Cih, tuh, berarti gua gak salah dong kalo tetep pacaran sama lo walau nanti pisah?" Tak puas, Sena masih terus ngotot.

"Ya gak gitu, anjir. Sen, sumpah ya, gua tuh sekarang udah gak bisa ngebayangin kalo gua jauh-jauh dari lo." Jeno berapi-api sampai duduk tegak lagi.

"Halah. Semua orang yang bilang gitu ujung-ujungnya juga masih ngelanjutin hidupnya kayak biasa."

"Ya iya, tapi lo kebayang gak prosesnya sebelum ngelanjutin hidupnya kayak biasa itu gimana? Kepikiran. Sedih. Marah. Prosesnya itu Sen yang gak enak."

Sena memutar matanya. Pacarnya ini juga tak mau kalah, sama menyebalkannya dengan dirinya.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang