13. Tenggelam

381 40 0
                                    

"Um, Sen."

"Iya?"

"Tugas kelompok udah?"

"Nih."

"Oke. Makasih."

Sena mengangguk canggung lalu kembali berkutat dengan buku tugas Kimia di hadapannya. Bukan hitungan susunan dan segala rumus Kimia yang ia coret-coret di atas bukunya. Ia mencoret banyak hal. Gambar-gambar acak dengan bentuk spesifik.

Anak kecil dan orang tuanya, dua orang berpelukan, tempe goreng, baju seragam.

Ia kembali melirik Jeno yang hanya beberapa meja di depannya, sedang menyalin coretan jawabannya ke lembar jawaban untuk tugas Matematika minggu ini. Harusnya ia yang mengerjakan tugas Sena, tapi Sena kadang masih suka mengerjakan hitungan abstrak itu.

Setiap melirik Jeno, ia selalu teringat memori tempo hari. Pelukan Jeno membekas di pikirannya. Bahkan saat Sena memeluk dirinya sendiri, ia akan teringat hangat tubuh Jeno serta wangi khas yang tak ia sangka sangat ia sukai. Wangi deterjen biasa yang bercampur dengan wangi dari tubuh Jeno, rasanya sempurna.

Tunggu, kenapa ia jadi memikirkan Jeno?

"Sen, ini nomer 6 maksud lo gimana, ya?"

"Apa? Kenapa?" Sena buru-buru menutup buku Kimianya saat Jeno datang entah dari mana.

"Um, anu, ini itungan lo kenapa tiba-tiba begini," ujae Jeno pelan dan menunjuk sebuah perhitungan dengan pulpennya.

"Itu, eng, kayaknya gua salah. Gak tau. Itung sendiri."

Sena salah tingkah. Sudah ada di otaknya mengenai penjabaran dari perhitungan itu. Mendadak lidahnya kelu, tak tahu harus berbicara apa.

"Um, oke."

"Iya."

"Ngomong-ngomong, Sen."

"Iya?"

"Um, gambar lo lucu."

Jeno tiba-tiba pergi tanpa menunggu balasan dari Sena. Keduanya salah tingkah. Keduanya tak tahu mau bagaimana.

***

"Heyy! Oh Sena!! Mana anak Papa? Kamu mau mobil, kan? Mau mobil apa? Besok Papa belikan buat kamu!!"

Jam 12 malam, Papa membuat riuh seluruh rumah sampai terdengar ke lantai dua. Sena yang sedang mengerjakan tugasnya buru-buru turun begitu namanya dipanggil. Refleks, panik, suara ayahnya yang memanggil dirinya tak berkesan baik.

"Kamu mabuk lagi?!" teriak Mama saat keluar dari kamar lalu buru-buru membopong Papa yang berjalan sempoyongan dan hampir jatuh.

Sena dan Kak Sehun berjalan di tangga, meratapi ayahnya yang kali ini mabuk-mabukan lagi. Entah karena apa, biasanya bukan karena stress.

"Kamu mau apa, Sayang? Liburan ke Paris? Barcelona? Hm?" tanya Papa saat Mama membopongnya ke kamar. Papa terhenti saat melihat Sena di tangga lalu menghampiri Sena dengan ceroboh.

"Oh Sena, Papa baru dapat uang banyak. Pak Walikota selalu baik ke kita, tahu? Tadi juga ternyata ada Pak Gubernur! Minum-minum sebentar, uang milyaran masuk rekening. Ah, Sehun! Dengar, Nak, jangan pernah idealis! Kamu ini malah tolak Papa pas tadi Papa ajak untuk ketemu Pak Walikota. Kamu yang akan bantu Papa nanti di pengadilan, tahu?!"

Bau alkohol dari mulu Papa membuat Sena mengalihkan wajahnya. Ia bahkan berjalan mundur dan kembali ke anak tangga dan berdiri di dekat Kak Sehun. Ah, lagi-lagi Papa menerima uang suap dari para pejabat. Kak Sehun hanya dapat melihat ayahnya dengan hina. Idealisme yang ia bangun di bangku kuliah dipaksa runtuh oleh ayahnya sendiri. Kak Sehun tak mau menjadi advokat macam itu. Ia benci semua uang haram yang Papa terima sejak dulu. Bahkan Papa mendapatkan posisinya sejauh ini karena pekerjaan kotornya.

Counting New Things | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang