• Genre : Romance
• Casts : Jimin, Yoongi
• Content Warning : Kissing, Soft boy Yoongi
• Audience : PG 15+
• Written by : AliceMelbourne, January 23rd '2023
Jimin tersenyum kecil, menatap langit senja yang perlahan memudar sedikit enggan. Kelopak matanya membentuk garis, dengan pancaran teduh pada krirstalnya. Sesuatu telah ikut andil untuk membuat sunggingan senyum itu tampak begitu tulus dan bahagia. Yang menjadi alasan mengapa saat ini pemuda itu berdiri di sana seorang diri.
Kakinya berpijak pada rerumputan kering yang pangkas, tanpa alas kaki yang menghalang. Sedang dua tangannya disimpan dalam saku celana, tidak berbuat apa-apa karena memang demikian adanya. Dari dalam rumah, sayup-sayup terdengar melodi indah berupa instrumen piano yang telah diruntutnya dalam satu playlist favorit pada sebuah tape kuno.
Jimin memejam mata, seakan menikmati indah alunan musik yang menari bersama deru angin senja di halaman belakang rumahnya. Namun pada kenyataannya, dia sedang menunggu kedatangan seseorang.
Satu sosok spesial yang menjadi alasan di balik senyum tulusnya. Satu sosok spesial yang selalu hadir di kala dia memejam mata. Bayangan paras manisnya segera hadir, tersenyum menyapa Jimin dengan gaya manjanya yang khas.
Dan Jimin menyukai itu.
Katakanlah Jimin gila. Karena tanpa alasan, dia menyukai semua tentangnya. Hal kecil yang ada pada sosok itu selalu mampu membuat Jimin tenggelam dalam kasih dan kehangatan. Tak peduli seberapa sering mereka bertemu, tak masalah seberapa lama mereka telah saling mengenal.
Nyatanya, Jimin memang sudah lama mengenal sosok itu. Bangku sekolah menjadi saksi bisu, hingga toga sarjana keduanya menjadi salah satu kenangan manis kisah cinta mereka.
Lucu.
Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Atau mungkin benar kata orang— jika kita menikmatinya, semua akan terasa menjadi lebih cepat.
Mereka masih kecil kala itu. Kala pertama rasa sayang dan peduli disimpulkan menjadi sebuah cinta yang membahagiakan. Terus memupuk dengan perlahan, melewati apapun yang menjadi rintang untuk meruntuhkan.
Hebat. Jimin kembali dibuat tersenyum oleh bayangan itu. Dia bangga pada dirinya, dia bangga pada keteguhan cinta mereka.
"Jimin!"
Satu seruan manis, beriringan dengan deru nafas terengah yang begitu jelas terdengar. Jimin segera menoleh, menyapa kedatangan sosok itu dengan senyuman hangat.
"Jimin, maaf aku terlambat!"
"Jangan lari, sweetheart."
Peringat Jimin diabaikan, sosok itu justru melepas sneakersnya dengan gerakan terburu hanya untuk kembali berlari sebelum menerjang prianya dengan pelukan erat.
"Ops!"
Jimin dibuat sedikit limbung ke belakang, namun pijakannya kokoh untuk segera memberi dekap pria mungil yang sejak tadi menjadi alasan penantiannya. Tawa kecil lolos dari bilah bibir keduanya, sebelum bertaut dalam ciuman singkat yang manis.
"Jimin menunggu lama?"
Jimin menggeleng kecil, mengangkat satu lengan untuk menyelipkan helaian anak rambut pria mungil itu ke belakang telinga.
"No, sweetheart. It's been only few minutes," ucapnya halus. "Bagaimana tadi pestanya, Yoon?"
Sosok pria mungil itu bernama Yoongi, bungsu keluarga Min yang tinggal tepat di samping rumah keluarga Park sejak beberapa tahun silam.
Yoongi mendengus kecil, lingkaran lengan di pinggang Jimin sedikit mengendur sebelum dia menjawab, "boring, as I predicted. Tidak ada cupcakes, tidak ada Jimin."
Jimin tertawa, renyah sekali didengar telinga. Namun bukan maksud menertawakan, pemuda Park itu hanya sekadar mengekspresikan rasa gemasnya pada sang kekasih.
"I'm sorry to hear that," sahut Jimin sembari mengetuk kecil ujung hidung Yoonginya. "Tapi terima kasih kamu sudah jadi anak baik. Menemani ayah bunda Min datang ke pesta perusahaan."
Yoongi tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi kecilnya yang apik. Membentuk senyum gusi manis yang menjadi daya tarik dari perangainya yang memang sudah begitu indah.
"Aku anak baik, Jimin?"
Jimin mengangguk, mengecup kening Yoongi sebelum menyahut, "Yoongi anak baik."
Lalu tawa kecil itu lolos, seakan senang hanya dengan kalimat pernyataan bahwa dia anak baik. Tapi memang begitu adanya, hal-hal kecil begitu mudah membuatnya bahagia. Dan lagi-lagi, Jimin menyukai itu.
"Um? Tchaikovsky?"
Yoongi memiringkan kepala, memecah fokus antara mendengar sayup melodi dari dalam rumah Jimin dan menanti konfirmasi dari prianya itu. Sedang Jimin segera mengangguk, membenarkan tebakan dari sang kekasih.
"Lucu, ya? Aku seperti sedang berada di tengah-tengah pesta dansa," Yoongi tertawa kecil, selagi berucap demikian.
Jimin tersenyum lebar, lalu merapatkan lingkar lengannya pada pinggang Yoongi. "Ayo berdansa kalau begitu?"
"Jimin, aku tidak bisa berdansa."
"Neither can I?"
Kembali tawa kecil keduanya lolos, mengisi hening langit yang telah sepenuhnya berubah gelap. Namun Jimin tetap menggerakkan kaki-kakinya, menuntun Yoongi untuk berdansa ringan mengikuti melodi yang mengantar.
Yoongi tidak keberatan, sudut bibirnya ditarik manis selagi kedua lengannya bergerak naik— mengalung pada leher Jimin yang tampak begitu kokoh. Saat mata itu saling menatap, saat itulah keduanya hanyut. Puji kentara lewat pandang, senyum terulas penuh makna.
Cinta mereka besar dan tulus, semesta tak perlu menjelaskan berulang kali.
"I hate to saying this, because feel like everyday you aren't, but— you're so beautiful tonight."
Yoongi memukul bahu Jimin main-main, menggeleng cepat meski rona merah pada kedua pipinya tak bisa disembunyi begitu saja.
"No. I looked a mess," gumamnya lalu menunduk, seperti sedang menghindari tatapan Jimin yang begitu dalam memujinya.
Jimin menarik tipis sudut bibir, bergerak memajukan wajah hanya untuk mendekat ke telinga Yoongi.
"No, sweetheart. You look perfect tonight."
Ronanya semakin kentara, Yoongi tidak benar-benar bisa menyembunyikan itu. Maka Jimin mengapit dagunya, membuat keduanya kembali bersitatap dalam jarak dekat. Kaki-kaki Jimin yang bergerak kini berhenti, namun dekap pada pinggang tak melonggar barang sedikit.
"Kamu cantik, kamu selalu cantik," bisik Jimin di antara senyumannya yang teduh. "Tapi malam ini rasanya kamu terlalu sempurna. I just feel like I don't deserve you."
"Jimin.."
"Shall we kiss?"
Yoongi mendengus geli, karena Jimin meminta itu dengan nada jenaka. Namun yang terjadi setelahnya justru sesuatu yang manis sekaligus romantis.
Dekap keduanya mengerat, dengan bibir saling bertaut hangat. Lumatan halus tanpa nafsu, hanya menyampaikan cinta yang begitu besar dan meledak. Jimin memandang dalam tatap sayu, bagaimana kelopak manis milik Yoongi terpejam menikmati ciuman. Menyalur kasih sayang yang membuncah, melingkup bahagia yang meruah.
Lalu tautan itu disudahi, tanpa membuat jarak berarti di antara. Jimin tidak bisa untuk melunturkan senyumannya, melihat Yoongi yang merah nan cantik. Kecupan ringan dibubuh pada labiumnya yang basah, Jimin selalu menyukai bagaimana bibir tipis itu terbuka mengais nafas.
"Min Yoongi. Ayo menikah denganku?"
• Ed Sheeran — Perfect. End. •
