Aku membasuh wajah di westafel toilet dengan beringas, kemudian menatap pantulan diriku di cermin.
Gilang? Suka sama aku? Yang benar saja!
Otakku masih tidak bisa menerima pernyataan yang tiba-tiba itu!
Belum lagi, Gilang mengatakan kalimat tersebut bersamaan dengan Sena yang menoleh ke arah kami dan hendak menginformasikan sesuatu. Si manis bahkan sampai memutuskan ucapannya tatkala mendengar Gilang mengaku bahwa dia menyukaiku.
Responsku? Tentu saja gelagapan.
Aku bahkan tidak mengucap apa pun setelah itu sebab Gilang langsung berpaling ke arah Sena yang tiba-tiba menghadap kami. Sena sendiri menutup mulut dengan tampang dramatis, tetapi aku tahu dia juga sama kagetnya denganku. Sebab tidak tahu harus bereaksi seperti apa, maka aku putuskan untuk izin ke kamar mandi dengan maksud mendinginkan pikiran. Kurasa aku harus menyiram air keran ini ke kepala Gilang supaya dia sadar apa yang diucapkannya.
"Ayo fokus, Naura! Fokus!" Aku berusaha menyemangati diri dengan menepuk-nepuk pipi. "Nanti masih harus tampil bareng Gilang. Ayo, fokus!"
Namun, seberapa kali pun aku melakukan hal itu, tetap saja tidak berefek. Kupu-kupu di perutku juga sepertinya mulai memberontak sebab aku merasa sensasi aneh di sana.
"Yok, bisa yok!"
Aku kembali menyemangati diri dengan embusan napas kuat. Sesekali, kupukul pelan dadaku yang berdesir aneh. Aku tidak bisa terus memikirkan itu. Aku harus maju untuk kelompok ini. Harus bisa bertahan sampai kelompok ini selesai.
Kakiku berderap keluar kakus dengan mengambil dan mengembuskan napas dalam. Begitu dua meter menuju pintu kelas, tungkaiku berhenti. Sosok yang sedang kupikirkan tahu-tahu keluar dari ruang belajar dan secara tidak sengaja menghalangi jalanku untuk masuk. Dia sempat melirikku sekilas tanpa ekspresi, kemudian kembali berjalan menyusuri koridor untuk pergi ke toilet.
"Gilang."
Aku menyempatkan diri memanggilnya dengan suara pelan supaya tidak terdengar oleh teman-teman di dalam kelas.
Gilang menghentikan langkah dan menoleh sedikit ke kanan untuk memindaiku lewat ekor mata.
Meneguk. "Soal yang tadi ... kamu bercanda lagi, kan?"
Kini, tubuhnya juga turut berotasi ke arahku. "Kalo udah dibilang sampai dua kali, apa masih bisa disebut bercanda?"
Aku menggigit bibir, paham betul apa maksud cowok ini. "Nggak gitu. Aku cuma ... bingung aja." Kakiku bergerak kecil. "Selama ini kamu selalu dukung aku buat bertahan, buat berjuang. Tapi ... tapi kamu—"
"Aku bilang gini juga bukannya berharap kamu membalas perasaanku," tandas Gilang, membuat kupu-kupu di dalam perutku kembali meronta. "Nggak juga aku minta kamu buat nerima atau pun nolak. Aku cuma bilang apa masalahku karena kamu terus-terusan nanya."
Aku menggigit bibir. Jadi, ini salahku, ya?
"Kalo gitu, sorry," pintaku. "Aku tetep akan bersikap kayak biasa setelah ini, kok. Kamu nggak perlu khawatir." Yah, setidaknya aku akan mencoba.
Gilang menganggut kecil. "Bagus." Lantas kembali memunggungiku ke arah toilet. "Mending kamu siap-siap. Dikit lagi kita tampil."
Aku mengangguk sepakat walau tahu Gilang tidak bisa melihatnya. Setelah itu, cowok jenius yang baru saja menyatakan perasaannya padaku itu kembali melaju ke arah toilet dan menghilang di balik dinding. Aku sendiri berbalik arah dan memasuki kelas dengan pandangan hampa, kemudian duduk begitu saja di kursi sebelah Gilang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...