Trigger Warning : Mention of death.
🌸🌸🌸
Aku tidak akan percaya lagi saat Sena mengatakan dirinya akan membawaku pergi jalan-jalan berkeliling kompleks, karena sekarang dia bahkan menggiringku untuk berkeliling kota!
Entah apa yang merasukiku hingga aku tidak sadar bahwa Sena menuntunku berjalan sampai halte depan kompleks dan menaiki bus untuk sampai ke stasiun. Aku seperti orang terhipnotis, mengikuti saja apa mau si pelaku dengan pandangan polos tanpa bertanya-tanya. Pakaianku bahkan hanya celana jeans dan kaos putih polos.
"Sen," panggilku begitu sadar bahwa barusan kami sudah keluar dari Stasiun Kota Tua. "Kayaknya kompleksku nggak nyampe sini, deh."
Mendengar itu, Sena tertawa renyah. "Aku iseng aja mau nostalgia di Kotu. Banyak kenangan waktu sama mamaku dulu, Nau."
"...."
Begitu, ya ....
Seolah bisa mendengar suara hatiku, cowok manis ini mengangguk. "Kamu mau kan temenin?"
Aku mendesis. "Setelah sampai sini, kamu baru nanya?" semprotku, membuat lagi-lagi Sena tergelak.
"Ya ... siapa tau aja gitu kan kamu nggak mau dan milih buat pulang sendiri?"
"No, thanks," tolakku. "Aku cukup waras buat nggak ngelakuin itu. Jadi, ayo keliling dulu!"
"Oke!" Sena berseru semangat, kemudian menarik pergelanganku untuk menyebrang jalan raya menuju kawasan Kota Tua.
"Aku terakhir kali ke sini waktu kelas 1 SMP. Rasanya banyak banget yang berubah. Oh? Dulu ini masih jalan raya! Ternyata sekarang udah dibikin art street. Ada jalur sepedanya juga, lagi. Trus ... wah! Lihat, Nau! Ada—"
Ocehan Sena selanjutnya tidak kudengar sebab aku sibuk melakukan latihan pernapasan secara diam-diam. Bagaimana tidak? Setelah menarik tanganku untuk menyebrangi jalan raya, Sena masih tidak melepaskan genggamannya. Malah, cowok itu menurunkan pegangan sedikit sehingga telapak tangan kami bersentuhan dan jari Sena masuk ke sela-sela jemariku.
Sejujurnya, aku ingin berteriak dan mengatakan, 'Sen, aku bukan Shana!' sebab dia selalu menggunakan nama Shana sebagai alasan. Namun, kalimat itu bahkan tidak bisa kukatakan.
"Wah, makin ramai ya ternyata," celetuk Sena, masih dengan posisi menggenggam tanganku. Aku tahu dia tidak sadar telah melakukan ini. Tapi, aku juga tidak bisa mengatakan sesuatu! Tolong!
"Museumnya masih pada tutup, Nau. Mungkin karena kita kepagian." Cowok manis ini masih terus berceloteh tanpa mengindahkan ekspresiku yang sudah pucat. Dia malah sibuk melihat apa saja tempat yang sudah bisa kami singgahi di pagi hari ini. "Ah! Naik sepeda ontel aja yuk, Nau! Gimana menurut ka—lho? Kok kamu pucat, Nau?"
Aku mengembuskan napas tepat saat Sena berpaling dan memerhatikan wajahku yang sudah seperti mayat hidup. Bukannya peka, cowok ini malah menempelkan punggung tangan kirinya di dahiku.
"Kenapa, Nau? Kamu kecapean?"
Sebuah gelengan kuberi sebagai jawaban. Aku bukan capek, Sen. Aku hanya ... nggak bisa napas ....
"Nau?" panggilnya lagi. Bahkan, kini menyentuh pipiku dengan tampang khawatir. "Kalau kamu nggak enak badan, kita pulang aja, deh. Aku—"
"Bu-bukan!" sanggahku, membuat Sena mengernyit dan menurunkan tangannya. "I-itu ... t-ta ... ta ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...