53 ✿ Akulah si Antagonis

280 42 18
                                    

Dua hari kemarin kulalui dengan melakukan refleksi diri. Aku tidak mengirimkan pesan apa pun pada Prita, Sena, maupun Gilang. Aku hanya membaca beberapa buku-buku pengembangan diri yang kubeli di Gramedia sepulang dari rumah sakit. Entah sejak kapan aku berpikir untuk membaca buku-buku seperti ini.

Kegiatanku beberapa hari ini masih sama. Setiap pulang sekolah, aku selalu mengunjungi rumah sakit untuk sekadar melihat keadaan Sena. Terkadang, aku menemui Shana yang sudah lebih dulu sampai dan menjaga sang kakak. Namun, adakalanya pula aku tidak mendapati siapa pun di sana.

Hari ini aku bersekolah dengan normal seperti biasa. Kupikir, tidak ada hal yang akan mengejutkanku pagi ini sebab beberapa hari belakangan aku seperti menjalani hidup dengan ritme yang sama: sekolah-rumah sakit-pulang. Tapi, hari ini ada sedikit perubahan tokoh dalam alur keseharianku.

Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat meja Prita yang biasanya kosong kini sudah terisi.

Gadis itu mengenakan seragam pramuka dengan penampilan yang lebih rapi daripada hari-hari sebelumnya. Rambut pendek yang dulu sempat dipotong mamaku kini tergerai bebas. Tidak ada kaos kaki berbeda warna atau pun kancing baju yang salah tempat. Prita benar-benar tampak seperti gadis normal sekarang hingga aku jadi meragukan apa yang sedang kulihat.

Tidak ada satu siswa pun yang mengindahkan keberadaan gadis itu, sama seperti dulu. Masing-masing dari mereka sibuk dengan urusannya meski sebagian siswa masih kudengar menjadikan nama Prita sebagai bahan gosip. Namun, kurasa si perempuan ambis tidak ambil pusing dengan itu dan tetap fokus pada bacaannya seperti biasa.

Aku menghela napas, kemudian melangkahkan tungkai untuk pergi ke kursi yang ada di sebelah Prita, mendudukkan diri di sana. Sebab anak ini baru saja masuk ke sekolah, aku tidak ingin ambil pusing dengan berdebat lagi. Malah, aku berniat meminta maaf padanya atas kejadian tempo hari.

K/.ulihat Prita mengerlingku lewat ekor mata, kemudian kembali fokus pada bacaannya.

"Ngapain?" tanyanya, ketus seperti biasa.

Menghela napas, aku membuka tas dan meletakkannya di atas meja. "Numpang. Mejaku nggak ada orang."

"Ini tempatnya Gilang," sahutnya datar seraya membalikkan halaman buku. "Nanti orangnya da—"

"Gilang nggak akan datang," sambarku lesu. "Dia pindah."

Kali ini, kepala Prita tertoleh. "Pindah?"

Aku mengangguk. "Iya ... gitu, deh." Kemudian membenamkan kepala di atas meja. "Sena juga nggak masuk. Masih sakit," imbuhku, menggunakan kata sakit sebab tidak ingin keceplosan mengatakan yang sebenarnya di kelas.

"Oh."

"Hm."

Hening. Tidak ada yang melanjutkan percakapan ini.

Kulihat, beberapa siswa yang melewati kami sempat mengerling sejenak dan kembali melanjutkan langkah dengan berbagai pertanyaan, seperti, "Itu si Naura duduk sama Prita?", "Bukannya mereka terakhir berantem, ya?", "Emang Gilang nggak masuk lagi?", dan sebagainya.

Aku mendesis begitu mendengar kicauan itu, tetapi memilih untuk abai dan menghela napas.

"Sejak kapan Gilang pindah?" tanya Prita tanpa mengalihkan atensi padaku.

Aku menoleh tanpa semangat. "Nggak tau. Dari minggu kemarin dia udah nggak masuk. Nggak bilang apa-apa juga."

Prita berdeham dan kembali membaca buku dalam damai, membuatku semakin takut untuk mengatakan beberapa hal kepadanya.

Menyadari bahwa aku awasi, gadis berkacamata ini menoleh dengan dahi berkerut dalam. "Kenapa?"

Aku coba memberinya senyum sekuat yang kubisa. "Nggak papa," kataku. "Aku ... senang kamu balik ke sekolah lagi, Ta."

Accismus (VERSI REVISI) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang