Hari ini, kelas kami melakukan pengambilan nilai Seni Budaya. Tugasnya adalah bagaimana cara kami mengekspresikan diri lewat lagu. Bu Rara menyuruh kami membawa alat musik masing-masing yang nantinya akan dipanggil satu per satu menghadap beliau. Aku memutuskan untuk menjinjing pianika dan memainkan lagu 'Cinta' yang dulu dinyanyikan Vina Panduwinata dan sekarang dibawakan versi remake oleh Naura Ayu. Mama yang mengajariku not lagu ini dan malah meledekku untuk mempertunjukkannya di depan Sena.Bu Rara menyuruh murid-murid yang duduk di banjar pertama dekat pintu untuk tetap di kelas guna pengambilan nilai, sementara sisanya disuruh menunggu di luar.
Aku mengambil posisi duduk lesehan di bawah jendela kelas yang lebih dekat ke arah tangga naik, sedikit menjauh dari yang lain sebab aku masih ingin fokus menghafal not lagu ini. Sena sendiri entah sudah kabur ke mana.
Begitu aku hendak meniup selang pianika, suara gitar yang berada tak jauh dari tempatku bergenjreng. Spontan kepalaku menoleh dan mendapati Gilang yang kini memetik gitar akustik kepunyaan Prita bersama dengan sang pemilik di sisi kanan. Aku tahu itu gitar Prita sebab beberapa kali gadis aneh itu membawa alat musiknya saat latihan musikalisasi puisi di rumahku.
Mereka tidak tampak mengobrol. Prita hanya diam di sebelahnya dengan pandangan kosong mengarah pada lapangan sementara Gilang mulai mengeluarkan suara indahnya.
engkau yang sedang patah hati
menangislah dan jangan ragu ungkapkan
betapa pedih hati yang tersakitiracun yang membunuhmu secara perlahan
Kali ini, kulihat Prita menarik napas dalam, kemudian menekuk kaki kecilnya perlahan dengan posisi memeluk lutut.
engkau yang saat ini pilu
betapa menanggung beban kepedihan
tumpahkan sakit itu dalam tangismu
yang menusuk relung hati yang paling dalamGilang masih melanjutkan latihan lagu yang akan dipertontonkannya sementara Prita mulai memejamkan mata, menggigit kecil bibir bawah.
hanya diri sendiri
yang tak mungkin orang lain akan mengertiBertepatan dengan itu, setetes air mata jatuh membasahi pipi Prita. Membuatku terkejut. Dia langsung mengubah kepala menjadi menunduk sambil memeluk lutut kuat-kuat. Gilang menyadari pergerakan tersebut dan melirik pelan teman sebangkunya sambil melanjutkan lirik.
di sini kutemani kau dalam tangismu
bila air mata dapat cairkan hati
kan kucabut duri pedih dalam hatimu
agar kulihat senyum di tidurmu malam nantianggaplah semua ini satu langkah dewasakan diri
dan tak terpungkiri juga bagimuBegitu lirik selesai dinyanyikan, cowok jenius itu mengangkat pandangannya dan menoleh ke arahku, seakan sadar bahwa sejak tadi aku perhatikan. Buru-buru aku menegapkan tubuh dan berdeham beberapa kali sebelum mulai menekan tuts pianika yang ada di pangkuanku.
Meski begitu, aku tidak bisa untuk fokus pada lagu ini. Mataku beberapa kali melirik Gilang dan Prita yang masih di posisi, Tidak ada percakapan apa pun di antara mereka sebab hingga kini perempuan ambis itu masih belum juga mengangkat kepala.
Jujur, sebenarnya aku senang melihat Prita sudah mulai terbuka. Meski terkadang gadis itu menyebalkan, pada akhirnya dia hanya butuh teman untuk bercerita. Entah apa yang menguatkan teoriku. Tetapi, kurasa karakter Gilang yang pendiam dan suka memberi saran bisa menjadi tempat bercerita baginya.
Aku menghela napas, lalu menggeleng. Tidak ingin memiliki pikiran aneh tentang mereka. Lagi pula, ini hal bagus, kan? Gilang bisa berhenti menyukaiku dan mulai membukanya dirinya untuk—tunggu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...