Ini adalah minggu kedua yang setiap akhir pekannya tidak ada Sena dan Prita di rumahku.
Shana sudah kembali ke rumahnya seorang diri setelah Papa memastikan tidak ada bau obat nyamuk lagi di sana. Meski Mama menawari Shana untuk menginap di rumah kami, tetapi gadis itu menolak dan memilih untuk kembali ke tempat tinggalnya. Walau pun begitu, Papa juga berkata bahwa ia beberapa kali menemukan Shana terlelap di rumah sakit saat malam hari. Mungkin saja gadis itu enggan meninggalkan sang kakak sendirian dan memilih untuk menginap di sana.
Sudah tiga hari Sena masih terlelap di rumah sakit dengan bantuan selang oksigen dan infus. Meski kondisi tubuh anak itu dapat dikategorikan stabil, tetapi belum ada tanda-tanda dia akan siuman.
Hari Senin ini, aku kembali bersekolah seperti biasa. Sejujurnya, beberapa waktu belakangan, tidak ada yang berbeda pada hari-hari sekolahku selain aku yang duduk seorang diri serta kursi Prita dan Gilang yang kosong. Kelas masih sama ramainya meski tanpa suara si manis. Begitu pula dengan murid-murid yang bersikap seolah tidak ada hal apa pun di kelas kami.
Namun, hari ini aku merasa ada sedikit perbedaan.
Desas-desus yang mengudara melewati gendang telingaku membuatku menghentikan langkah di ambang pintu kelas.
"Serius, Yu? Siswa yang hari Kamis kemarin dibahas hilang di rapat orang tua dan guru itu Prita?"
"Serius!" tutur Ayu. "Aku nggak mungkin salah denger. Soalnya pas tadi aku mau nemuin Bu Farah, ada guru yang nanya 'Far, itu yang hilang murid kamu kan yang pintar? Si Prita?'"
Salah satu dari lima siswa yang berkerumun itu menggeleng. "Kok bisa Prita hilang?"
Ayu mengedik. "Nggak tau, deh. Masa iya diculik? Emang masih ada yang mau nyulik anak SMA? Lagian kan Prita juga biasanya diantar jemput tepat waktu terus."
"Apa mungkin dia kabur?" celetuk Nisa, salah satu siswa berkacamata.
"Alasannya apa? Berantem sama orang tua?"
"Bisa jadi nggak, sih? Inget nggak waktu si Naura bilang kalo orang tua Prita itu juga egois? Maksudnya ... mungkin kayak strict parents?"
"Oh, bisa jadi, sih." Lima dari mereka mengangguk setuju. "Dipikir-pikir, kasihan juga ya kalo sampe kabur perkara strict parents. Pasti bingung juga mau tinggal di mana."
"Ngapain dipusingin, sih? Prita juga setauku anak orang kaya. Dia pasti bawa pegangan uang. Tinggal cari kos-kosan harian juga jadi."
"Iya, sih. Tapi—"
"Sstt!"
Bisik-bisik itu mendadak berhenti begitu kuputuskan untuk melanjutkan langkah ke dalam kelas, melewati Ayu dan beberapa teman lain yang sempat membicarakan soal Prita.
Aku tidak menanggapi hal tersebut dan hanya menghela napas, kemudian berjalan lurus hingga sampai di kursiku. Membiarkan kelima perempuan tadi melanjutkan kabar burung yang menjadi topik mereka hari ini.
Sejujurnya, masih ada sedikit rasa bersalah pada diriku, sebab mau disangkal bagaimana pun, aku tetap saja menjadi salah satu pemicu Prita dinyatakan hilang. Masuk akal jika anak itu tidak mau pulang ke rumahnya untuk menghindari sang mommy dan daddy. Tapi, karena aku kebetulan berdebat dengannya kala itu, Prita jadi tidak mau pergi ke rumahku saat dia berniat kabur dari orang tuanya.
Omongan Gilang yang kemarin berkata bahwa bukan kewajibanku untuk mengurusi ini semua memang benar. Aku tidak punya hak apa pun atas mereka. Status kami bahkan hanya sebatas teman sekelas. Lantas, apa lagi yang kumau?
Dalam diam, kulirik kumpulan perempuan yang masih asyik berceloteh soal Prita yang bahkan mereka tidak tahu kebenarannya. Sejujurnya, ingin sekali aku menggebrak meja itu dan berkata pada mereka untuk tidak menyebar informasi yang belum pasti. Namun jika kulakukan, itu hanya akan menambah masalah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...