Aku keluar dari kamar dengan mata sembab sebab tak sanggup untuk berhenti menangisi Sena sepanjang malam. Mataku baru bisa terpejam setelah pukul dua dini hari akibat aku terus menyakiti diri dengan melihat berbagai foto momen kebersamaanku dengan si manis.
Pagi ini, kulihat seorang gadis berseragam SMA dan jaket yang melekat di tubuhnya tengah tertidur di atas sofa ruang tamu. Tak jauh berbeda denganku, mata Shana juga kelihatan sembab. Aku bahkan yakin anak ini baru tidur jam tiga atau empat subuh sebab semalam sebelum aku tidur, Papa sama sekali belum pulang.
Mama tahu-tahu keluar dari kamar masih mengenakan mukena. Beliau tersenyum dan menghampiriku.
"Papa mana?" tanyaku sebab belum menemukan keberadaan Papa.
Mama mengelus pelan punggungku. "Papa masih di rumah sakit, nunggu Sena, Sayang. Semalem, Papa nganter adiknya Sena doang ke sini supaya dia bisa istirahat."
Aku menghela napas, kemudian mengamati figur Shana yang masih terlelap. "Kenapa dibawa ke sini?"
Sebuah elusan di kepala Mama beri ketika beliau melihatku memberi tatapan tidak suka pada Shana. "Jangan gitu. Dia kan adiknya Sena, Sayang. Rumahnya belum bisa ditempati karena pas Papa cek semalam, masih banyak bau obat nyamuk."
Satu desisan remeh kuberi.
"Semalam, Mama tawarin dia buat tidur di kamar kamu, tapi dia nggak mau."
"Naura juga nggak mau sekamar sama dia."
"Hush! Nggak boleh gitu." Perkataan Mama lagi-lagi membuatku tersenyum miring dengan mata yang masih tertuju pada Shana. "Semalam, pas dia nyampe sini, matanya juga sembab banget, Ra, sama kayak kamu."
Seringai kecil lagi-lagi kuberi. Justru, akan lebih aneh jika aku mendengar fakta bahwa Shana tidak menangis. Bagus, deh. Setidaknya aku tahu dia masih sedikit punya hati.
Mengabaikan Shana, aku mengalihkan fokus pada Mama yang berada di sisi kanan. "Terus, gimana kondisi Sena sekarang, Ma?"
"Papa bilang, sebelum dia bawa Shana ke sini, Sena udah dibawa ke ruang rawat inap. Harusnya sih kondisinya udah stabil."
Penjelasan Mama membuatku menggangguk-angguk. Jujur, aku sedikit lega mendengar hal ini. Meski mungkin si manis belum menunjukkan tanda-tanda siuman, tetapi setidaknya aku tahu bahwa dia masih bisa bernapas.
"Kamu siap-siap ke sekolah ya, Ra. Nanti, Mama juga ke sekolah kamu pagi-pagi, sebelum rapat dimulai. Mama mau ngomong dulu sama wali kelas kamu soal Sena."
Aku mengangguk setuju. "Ya udah." Kemudian menyempatkan diri untuk melirik Shana sekilas sebelum memutuskan pergi ke kamar mandi.
🌸 🌸 🌸
Dikarenakan pagi ini ada rapat orang tua dan guru untuk sosialisasi persiapan ujian, maka kelasku yang merupakan ruang aula dialihfungsikan menjadi ruang rapat. Kami jadi harus mengungsi ke ruang serba guna yang kosong dan mau tidak mau belajar sambil lesehan di lantai sebab tidak ada kursi apa pun di ruangan ini.
Sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Bel istirahat sudah berbunyi. Hampir seluruh murid keluar dari kelasnya masing-masing untuk pergi ke kantin, tak terkecuali aku. Saking kesalnya aku melihat Shana ada di rumah pagi ini, aku sampai tidak nafsu untuk sarapan dan lupa membawa minum. Jadi, kuputuskan untuk pergi membeli roti dan air mineral, berniat memakannya di koridor depan aula.
Vokal Bu Henny—guru kesiswaan yang sedang memberi sosialisasi—terdengar hingga ke luar ruang aula sebab beliau memakai pengeras suara. Aku berdiam diri di depan ruangan tersebut dengan mata melirik ke arah dalam. Aura kesedihan sedikit banyak tampak di antara para guru yang berjejer di barisan depan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...