50 ✿ Simfoni Hitam

293 42 17
                                    


🥀 TRIGGER WARNING 🥀

Mentions of suicide, death, and mental health issues

🥀

Selama perjalanan menuju rumah sakit, Papa tak henti menenangkanku yang terus terisak. Beliau menepuk pundakku dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja sebab Sena sudah mendapat pertolongan pertama dari petugas medis. Tapi, mana bisa aku baik-baik saja sementara semua memori di mana Sena pernah berkata bahwa dia sudah hampir melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya masuk ke dalam benakku.

Berseberangan dengan posisiku, Shana duduk dengan pandangan setengah tidak percaya mengarah pada sang kakak yang kini terpasang selang ventilator di area hidungnya. Gadis itu meratap dengan mata sayu. Jemari mungil Shana tak henti menggenggam punggung tangan Sena, mengelusnya pelan sementara ia berusaha untuk tidak mengeluarkan vokal apa pun.

Setelah sepuluh menit perjalanan, kami sampai di rumah sakit terdekat dari rumah Sena. Cowok manis itu langsung dibawa ke IGD dengan aku dan Shana yang mengikuti. Papa menyusul setelah menyelesaikan beberapa administrasi kecil untuk mengonfirmasi identitas Sena, baru kemudian mengekori kami.

Kini, kami bertiga sedang berada di depan pintu IGD yang tertutup. Aku mengambil posisi jongkok dengan interval satu meter dari pintu hermetic berwarna kelabu. Kedua telapak tanganku berada di kepala, memasukkan beberapa helai rambut ke sela-sela jemari hingga perlahan mulai kujambak pelan.

Pandanganku mengabur. Lantai rumah sakit yang semula bermotif polos kini malah tampak seperti mozaik. Beberapa perawat berjalan melewati kami untuk pergi ke pasien yang menunggu mereka. Shana masih bergeming di ambang pintu IGD dengan tas sekolahnya sementara Papa memilih untuk mengajak gadis itu bicara.

"Kamu ... saudaranya Sena, ya?"

Meski aku tidak melihat ekspresi Shana, tetapi aku tahu bahwa gadis ini mengindahkan kehadiran papaku sebab kaki jenjangnya bergeser sedikit.

"I-iya, Om," sahut Shana, menahan tangis.

Kudengar, Papa menghela napas. "Kita sama-sama berdoa aja ya, semoga Sena baik-baik aja."

Mendengar itu, aku mengembuskan napas kuat, kemudian mengubah posisi jadi memeluk lutut.

Shana mengangguk. "Pasti, Om," tandasnya, membuatku enggan untuk mendengar lebih jauh lagi suara lembut itu.

Pintu IGD tahu-tahu terbuka, seorang dokter dengan pakaian kerjanya keluar dengan sebuah kertas dan pulpen. Aku turut berdiri untuk menghadap dokter tersebut.

Beliau menatap kami bertiga satu per satu. "Di sini ada yang keluaranya Mas Sena Ajidarma?"

Shana mengangkat tangan. "Saya, Dok."

Sang dokter mengangguk. "Bisa ikut saya sebentar? Ada yang mau saya jelaskan mengenai penanganan medis yang akan Mas Sena dapatkan. Tapi, saya harus menjelaskan isi dari lembar persetujuan ini dulu," jelas sang dokter. "Rekan saya di dalam sudah melakukan pertolongan pertama. Tetapi, kami tetap harus melakukan peninjauan lanjutan untuk memeriksa keseluruhan fisik Mas Sena."

Mengambil napas dalam, Shana akhirnya mengangguk. Sang dokter menggiring perempuan berseragam SMA itu untuk duduk di kursi yang berjarak lima meter dari kami, lalu menjelaskan beberapa hal yang tidak terlalu bisa kudengar sebab terlalu banyak menangis membuat pendengaranku tidak stabil. Kulihat, Shana beberapa kali mengangguk sambil menyeka air matanya dengan raut tenang. Entah aku harus kesal atau salut pada gadis itu yang tetap bisa bersikap tenang mendengar semua penuturan yang dijelaskan oleh dokter. Kalau aku ada di posisinya, mungkin aku tidak akan bisa mengambil keputusan apa pun dan langsung berkata, 'Lakukan yang terbaik aja, Dok.'

Accismus (VERSI REVISI) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang