Usai percakapan panjang malam tadi, gadis ambis itu kini sudah bersikap seperti biasa. Baik aku dan Prita tidak mengatakan apa pun yang bisa mengingatkan kami akan kejadian semalam. Anak itu mungkin sedikit kalut saat dia memperlihatkan titik lemahnya padaku. Oleh karenanya, aku memutuskan untuk mengunci rapat-rapat informasi yang kuterima semalam, bahkan dari Mama dan Papa.
Seperti biasa, begitu aku bangun tadi, Prita sedang asyik menggeluti layar ponsel sembari membaca buku atau jurnal atau apalah itu yang tidak bisa kujelaskan secara detail karena isi tulisannya benar-benar kecil. Dia juga tidak mengatakan apa pun padaku soal tangisan atau permintaan maafnya semalam. Aku akan menganggap kejadian itu sebagai insiden kesurupan saja. Mustahil Prita meminta maaf atau menangis sambil curhat di hadapanku untuk yang kedua kalinya. Dia mungkin menyesal telah melakukan itu. Jadi, aku meninggalkan Prita untuk belajar sendiri dan menuju ruang tamu.
"Prita belum bangun, Ra?"
Aku menunjuk kamar dengan dagu. "Lagi belajar." Kemudian kembali melanjutkan langkah meski sempat mendengar Mama bingung dan beberapa kali mengulang kata belajar.
Hari Sabtu yang cerah ini merupakan waktu yang baik untuk belajar, kan? Bagi Prita, tentunya.
"Papa mana?" tanyaku seraya mengambil remot televisi yang ada di atas meja dan menyalakannya.
"Tadi katanya mau lari pagi," jawab Mama santai, membuatku ber-o-ria. "Kamu nggak mandi, Ra?"
"Mandi? Apa ya itu?"
Aku berpura-pura mengorek telinga seraya fokus mengganti saluran televisi. Mama berdecak tepat saat suara penyiar di depan sana bersuara 'WASPADALAH!' membuatku buru-buru mengganti saluran lain.
"Mama hari ini mau nginap di rumah Tante Rara. Kamu mau ikut?"
"Tante Rara?" Aku menoleh ke arah Mama yang kini sibuk menumis bawang untuk membuat nasi goreng. "Bukannya kemarin Mama bilang dia lagi sakit?
Mama mengangguk. "Iya, makanya Mama mau jenguk. Karena rumahnya jauh, jadi mau sekalian nginep, mumpung Papa kamu lagi libur, lho."
Aku menimang-nimang. Memang sih, rumah Tante Rara itu berada di Garut, yang artinya butuh setidaknya empat jam perjalanan menuju sana. Akan sangat melelahkan jika empat jam perjalanan tersebut tidak digunakan untuk menginap.
Namun masalahnya, Prita saat ini sedang berada di rumahku. Aku memang tidak tahu kapan pastinya anak itu pulang. Tapi, kalau kulihat dari bagaimana dia bercerita kemarin, sepertinya Prita akan berada di sini sampai hari Minggu. Atas dasar itu, aku menolak ajakan Mama.
"Naura di sini aja deh, Ma."
"Ya udah. Prita suruh nginap lagi aja biar kamu ada teman."
"Oke."
Aku mengangguk, kemudian kembali fokus pada saluran televisi yang kini malah menampilkan berita seputar selebriti. Setelah beberapa kali pergantian, akhirnya aku memutuskan untuk menonton Doraemon.
Tak lama, pintu rumah terbuka. Papa masuk dengan setelan training putih dan senyum semringah. Aku masih berusaha untuk fokus pada layar TV saat Papa menyapa, "Ra, tebak! Papa bawa apa?"
Fokusku teralih. Kulihat kedua tangan Papa masih kosong. "Bawa duit?"
"Tetot!"
Aku mengernyit. "Bubur?"
"Bukan!"
"Ayam kentucky?"
"No no no."
"Soto ayam Bu Dian?"
"Eleh. Jauh."
"Motor baru?"
"Bukan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...