Kalau boleh, aku ingin menghapus kata 'cemburu' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebab kata tersebut benar-benar menggangguku.
Setelah Gilang mengantarku pulang dan mengaku kalau dia cemburu, kata itu selalu bermunculan di kepalaku, bahkan saat aku sedang mandi dan hanya menggunakan sampo tanpa kondisioner, aku malah berpikir, "Apa kondisioner ini cemburu karena nggak aku pakai?". Hal ini membuatku gila!
Oke, aku tahu kalau jatuh cinta bisa membuat orang menjadi gila. Tapi, aku tidak tahu kalau disukai seseorang juga bisa membuatku menjadi gila! Ini benar-benar diluar nalar.
Pagi ini, aku kembali ke sekolah dengan jutaan kalimat yang berisi kata 'cemburu' memenuhi benak. Saking pusingnya, aku sampai menutup kedua telingaku dan berjalan dengan mata terpejam menuju kelas. Beberapa kali aku menabrak orang dan pilar sebelum sampai di lokasi. Aku tidak tahu apakah Gilang sudah datang atau belum sebab aku masih memejamkan mata sampai tiba di kursi. Kurasa Sena juga belum datang karena aku tidak mendengar kursi di sebelahku berisik.
"Nggak ada kata cemburu. Nggak ada kata cemburu. Kata cemburu udah hilang dalam kamus. Nggak ada kata cemburu. Nggak ada kata—"
"CIEEE YANG KEMARIN JALAN BARENG GILANG~"
"—Gilang."
"...."
Apa?
Kelopakku terbuka dengan mata yang langsung mendelik ke sisi kanan. Berjarak setengah meter, Sena baru tiba di kelas dengan cengiran khasnya seperti biasa.
"Hahaha. Cie bingiittt. Kemarin aku lihat lho pas kalian mau—AW!" ucapan Sena terpotong begitu sebuah pulpen mengenai telinga kirinya.
"Sen, aku lagi nggak pengen berantem."
"Aku juga nggak pengen berantem. Kita berteman aja~" sahut Sena riang, kemudian mengambil duduk di sebelah kananku dengan berisik. "Oh ya, Nau. Kamu udah ketemu kostum sadako?"
"Udah. Kostum suster ngesot buat kamu juga udah."
"APA?!" teriaknya lebay hingga membuatku menutup telinga. Dia bertepuk tangan bangga, mengabaikan kata 'buat kamu' tadi. "Nah, bagus kan saranku? Menyatukan Gilang dan Naura ternyata bagus untuk melatih fokus."
"Melatih fokus apanya." Malahan gara-gara ide bodoh Sena, Gilang jadi punya kesempatan untuk mengatakan kalau dirinya cemburu melihat kedekatan kami.
Ya, salahku juga sih yang memancing. Terima kasih
🌸🌸🌸
"Oke, semuanya udah kumpul, ya? Aku mau ngejelasin tentang ...."
Ucapan Selly di detik selanjutnya tidak terdengar sebab aku sibuk mengamati figur Shana yang kini duduk bersebelahan dengan Sena di pinggir lapangan. Gadis itu datang seorang diri ke sekolah kami sebab Sena bilang bahwa dia tidak bisa menjemputnya dikarenakan kami akan mulai membuat dekorasi kelas berhantu.
Oke, pemandangan itu tidak terlalu menggangguku karena mereka kakak beradik. Tapi, haruskah Gilang mengambil posisi di sana juga?
Oh, tentu aku tidak cemburu. Aku hanya kesal saja. Di antara semua sudut yang ada di bagian selasar, kenapa Gilang juga memilih untuk duduk di samping Shana? Malah, tadi kulihat keduanya tampak asyik mengobrol dengan ekspresi semi datar—Gilang sedikit mengeluarkan ekspresinya lewat gerakan alis dan bibir, begitu pun Shana. Berbeda dengan cara ngomong Gilang saat bersama Prita yang terkesan kaku, ketika berbicara dengan Shana, aku bisa melihat Gilang tampak lebih rileks. Padahal, Shana tidak sereaktif Sena.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...