Setelah setuju untuk pergi ke rumahku, istirahat makan siang ini, Sena sudah meluncur dengan ojek online. Mama juga sudah mengirimiku pesan—bahkan foto Sena—dan menyampaikan bahwa anak itu sudah sampai di rumah kami dan saat ini sedang istirahat.Bukan tanpa alasan aku membiarkan Sena di rumahku, apalagi meminjam kamarku. Kalau mengingat percakapan kami tadi, rasanya aku benar-benar tidak boleh meninggalkan anak itu sendirian, terlebih ketika dia sedang sakit. Pikirannya makin kacau. Jadi, daripada Sena pulang ke rumah dan malah kenapa-napa, lebih baik aku merelakan dia di rumahku dan mendapat perhatian super dari Mama.
Kini, aku duduk seorang diri tanpa Sena untuk pertama kali. Kulihat, kursi Prita dan Gilang di depan sana juga kosong. Aku benar-benar merasa kehidupanku di kelas jadi hampa. Padahal, sebelum mengenal dekat mereka, aku tidak pernah merasakan sensasi aneh seperti ini.
Aku menenggelamkan kepala di atas meja, memilih untuk melewati istirahat makan siang ini dengan tidur di kelas seperti yang Sena lakukan beberapa waktu belakangan. Namun, baru saat aku hendak memejamkan mata, bahuku disentuh oleh seseorang. Kutengokkan kepala dan mendapati Melody yang kini berada di sisi kiri.
"Nau, kamu dicariin," kata Melody, sukses membuatku mengernyit.
"Dicariin? Sama siapa?"
Melody terdiam sejenak, menggigit bibir sebelum akhirnya berkata, "Mamanya Prita."
"...."
Bergegas kutolehkan kepalaku ke arah pintu masuk. Sosok wanita paruh baya dengan pakaian semiformal sedang berdiri di depan sana bersama Bu Rara, selaku guru BK.
Aku meneguk, lantas mengerling Melody yang masih di tempat. "Kamu ... serius, Mel? Beneran aku yang dipanggil?"
Tidak ada jawaban selain anggukan. Mata merempuan berkuncir kuda ini menoleh sekilas ke arah pintu masuk. "Tadi, Bu Rara yang minta aku buat panggilin kamu, Nau. Katanya, dicariin mama Prita."
Lagi-lagi satu tegukan saliva memasuki kerongkonganku. Mengambil dan mengembuskan napas, pada akhirnya aku berdiri setelah melakukan terapi pernapasan beberapa kali.
"Oke. Makasih, ya, infonya." Usai mengatakan itu, aku pergi ke luar kelas dan menemukan mama Prita yang mengenakan blazer abu-abu dan rok senada, dengan kemeja ungu sebagai setelan dalamnya.
Sejenak, aku kembali mereguk, kemudian menyalami tangan mama Prita setelah memberi satu senyum kikuk.
"Nah, ini Nauranya," kata Bu Rara begitu aku menyalami tangan beliau. "Naura, ini mamanya Prita," lanjutnya lagi, seolah aku belum pernah bertemu dengan wanita cantik ini.
Aku tersenyum kaku dan mengangguk, "Siang, Tante," yang dijawab mama Prita dengan lengkungan kecil di bibir dan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Kedua tangannya bersedekap di depan dada—bukan dengan gaya angkuh, melainkan anggun—seraya memerhatikanku dari atas hingga bawah.
"Naura, ada yang pengin Bu Regina omongin," tutur Bu Rara, membuatku meneguk. "Ayo, kita bicarakan ini di ruang BK, ya," lanjut beliau yang hanya bisa kusanggupi.
Aku mengikuti langkah Bu Rara dan mama Prita dari belakang. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Mommy Regina. Beliau hanya mengangguk-angguk saat Bu Rara mengoceh beberapa hal yang tidak terlalu bisa kudengar. Tak lama kemudian, kami sampai di depan ruang BK. Aku mengambil oksigen banyak-banyak dan mengeluarkan karbon dioksida secara perlahan, mencoba untuk bernapas dengan teratur, baru kemudian kakiku melangkah memasuki ruang BK.
Bu Rara menyuruhku duduk di samping kursi mama Prita, berhadapan langsung dengan beliau. Mengambil dan mengeluarkan napas, kedua tangan Bu Rara terangkat hingga kini berada di atas meja dengan posisi tubuh yang sedikit condong sementara mama Prita masih dengan pose bersedekap elegannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...