Setelah pulang dari rumah Prita kemarin, lagi-lagi aku kepikiran. Aku heran, padahal bukan aku yang punya masalah, tetapi kenapa otakku harus semumet ini, sih? Dimulai dari Gilang dan OCD-nya, Sena dan adiknya, Prita dan orang tuanya. Aku bahkan tidak termasuk ke dalam permasalahan mereka kecuali dalam kasus Gilang. Lantas, kenapa otakku tidak bisa berhenti memikirkan ini semua?"Selamat pagi, Saudara-saudara!"
Seolah memiliki telepati, cowok yang baru saja kusebut dalam hati itu muncul dengan cengiran khasnya. Meski tidak ada yang merespons, Sena tetaplah Sena. Dia berjalan santai ke arah kursi dan duduk persis di sampingku yang tampak lesu.
"Hai, Nau," sapanya riang yang hanya kubalas dehaman singkat. "Kenapa? Kok kamu lemes?"
"Pusing." Aku menjawab asal. Tapi, sepertinya itu tidak asal bagi Sena karena dia langsung menempelkan tangannya di dahiku dengan tampang panik.
"Kamu nggak enak badan? Mau ke UKS? Aku beliin Panadol, ya?"
Aku berdecak dan menepis tangan si manis. Dia tidak tahu apa ya efek sentuhannya itu bisa membangunkan kupu-kupu di perutku?
"Nggak usah," kataku. Sena manggut-manggut meski wajahnya tidak menunjukan rasa percaya. Jadi, aku menghela napas dan berkata, "Sen, daripada energi pagimu terbuang sia-sia, mending bagi ke aku."
"OKE!"
Dia mengangkat jempol, kemudian melakukan pembagian energi dengan cara mengambil sesuatu tak kasat mata—maksudku, angin—dari area sekeliling tubuhnya dan menghempaskannya di sekitarku yang masih lesu. Tak lupa, anak ini bersuara, "Wush! Wush! Wush!" Membuatku bingung harus tertawa atau justru menghela napas melihat tingkah Sena.
Satu menit lamanya si manis masih melakukan tindakan aneh itu, pandanganku tahu-tahu berserobok dengan netra legam Gilang yang baru masuk ke kelas. Dia berhenti sejenak di ambang pintu dengan air muka heran bercampur datar begitu melihat aksi Sena.
Aku menghela napas, semerta menutupi kepalaku dengan tas.
"Stop!" Membuat si manis langsung berhenti.
Sena nyengir ganteng. "Gimana transfusi energiku, Nau? Udah nggak lemes lagi, kan?"
Aku tidak terlalu mendengar ucapannya dan hanya mengangguk-angguk pelan. Dari balik tas, kepalaku sedikit mengintip untuk melihat apakah Gilang sudah duduk di tempat atau masih memerhatikan kami. Begitu kulihat si cowok jenius sudah mendaratkan bokong di kursinya, aku mengeluarkan napas lega.
"Kenapa, Nau?"
"Nggak papa."
Sebuah anggukan paham diberi. Kini, Sena kembali bersikap normal dengan meletakkan tasnya di atas kursi dan membuka ponsel untuk bermain gim.
Sejenak, aku memerhatikan gerak-gerik anak ini tepat ketika Sena mengangkat sebelah kakinya ke atas dan menjadikan lutut sebagai tumpuan tangan kanannya yang memegang ponsel. Tidak ada lagi karet yang mengikat di pergelangan kaki cowok ini. Syukurlah. Kuharap Sena benar-benar tidak akan menyakiti dirinya dengan benda-benda seperti itu lagi.
🌸🌸🌸
Siang ini, guru Sejarah memberi tugas berkelompok. Satu grup terdiri dari tiga orang dan harus membuat sebuah makalah berjilid untuk dikumpulkan di hari rabu. Entah kesialan apa yang menerpaku sebab sekarang guru tersebut baru saja mengumumkan bahwa aku, Gilang, dan Prita satu kelompok.
Bukan berarti aku tidak senang sama mereka, sih. Tapi aku tahu kalau kapasitas otakku tidak sebanding dengan keduanya.
Bu Titi menyuruh kami berkumpul dengan kelompoknya masing-masing untuk berdiskusi. Sebab Gilang saat ini sedang pergi ke kantor guru karena dipanggil Bu Farah, maka aku numpang duduk ke kursi Gilang untuk sementara. Prita seolah tak acuh dengan keberadaanku yang tiba-tiba. Dia bahkan tidak repot-repot menatapku dan malah membuka buku A World Lit Only by Fire miliknya. Membuatku hanya bisa menghela napas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...