Trigger Warning : Mention of suicide
🥀
Setelah diskusi pendek menyakitkan antara aku dan Shana kemarin di rumah sakit, hari ini aku pergi ke sekolah seperti biasa. Aku memang menemukan Prita yang sedang duduk di kursinya seorang diri sambil membaca buku. Tapi, kali ini aku memilih untuk melanjutkan langkah menuju kursiku.
Bukannya aku akan menyerah pada permintaan maafku untuk Prita. Tetapi, aku belum siap jika harus menangis semisal gadis itu menolak permintaan maafku lagi. Aku sedang rapuh-rapuhnya sekarang. Jika ada orang yang mengisengiku seperti Sena dulu, mungkin aku juga akan menangis. Jadi, kuputuskan untuk mengisolasi diri di kursiku sambil melakukan latihan pernapasan beberapa kali. Dadaku jadi terasa sesak semenjak semua kejadian berentet ini. Bertengkar dengan Prita, kepindahan Gilang, hingga kasus Sena.
Aku bahkan sampai lupa kapan terakhir kali aku tertawa gembira bersama yang lain. Hari-hariku seminggu ini selalu dipenuhi dengan tangisan.
Oleh sebab hari-hariku yang tidak menyenangkan—belajar, diam, merenung, nangis, makan, dan sebagainya—maka kuputuskan untuk mengakhiri waktu dengan cepat dan berniat pulang ke rumah.
Sejujurnya, aku juga ingin ke rumah sakit dan melihat keadaan Sena seperti beberapa hari sebelumnya. Tapi, kalau kuingat apa yang kemarin Shana katakan padaku, sepertinya aku tidak bisa. Shana bisa saja merasa cemburu atau kesal sebab melihatku yang terus berada di sisi kakaknya. Maka dari itu, kuputuskan untuk menunggu bus sekolah yang lewat di halte dan akan langsung pulang ke rumah untuk istirahat.
Tidak sampai satu menit, kulihat sebuah bus kuning berukuran sedang melaju dengan kecepatan rendah menuju posisiku. Tubuhku sudah berdiri dan siap untuk masuk begitu tahu-tahu ponselku bergetar. Kurogoh saku dan menemukan nama Mama tertera di layar. Aku mengangkat telepon tepat ketika bus sekolah sudah berhenti persis di hadapanku, membuatku sudah siap untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam.
"Halo, Ma?"
"Ra ...," panggil Mama di seberang sana. "Kamu di mana?"
Begitu pintu bus terbuka, aku melangkahkan tungkai dan masuk. "Mau pulang. Ini baru naik bus sekolah. Kenapa, Ma?"
"Langsung ke rumah sakit sekarang, ya."
Eh?
Aku berhenti di tengah bus sebelum mendudukan bokong di salah satu kursi. Beberapa siswa yang ada di belakangku mulai masuk satu per satu dan memilih kursi masing-masing untuk ditempati.
"Ke-kenapa emangnya, Ma?"
Sungguh. Aku takut.
Kenapa Mama memintaku ke rumah sakit? Bukankah biasanya beliau tahu kalau aku selalu ke sana setiap pulang sekolah? Apa terjadi sesuatu pada Sena?
Tunggu. Jangan bilang Sena—
"Se-Sena kenapa, Ma?" tanyaku, mulai panik.
Kudengar, Mama menghela napas. Membuatku meneguk dengan sekujur otot tubuh yang menegang.
Pintu bus ditutup dan sopir sudah menginjak pedal gas untuk menyusuri jalan raya. Aku masih berdiri di tengah-tengah bus sampai seorang petugas menegur dan menyuruhku duduk di kursi yang kosong. Namun, aku tak mengindahkan seruan itu sebab pikiranku benar-benar kacau.
Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi pada Sena?
Suara kasak-kusuk di seberang sana terdengar. Sepertinya Mama sedang berbicara dengan seseorang di rumah sakit sebab aku mendengar beberapa suara kegaduhan antar perawat yang saling memanggil. Aku tidak bisa mendengar jelas suara-suara tersebut sebab kurasa Mama menjauhkan ponselnya dari area wajah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI) ✔️
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...