37 ✿ Takut Akan Kehilangan

356 54 24
                                    

"Prita, ayo kita lari pagi!"

Ajakan Papa barusan membuatku yang baru saja keluar dari kamar mandi seketika menghentikan langkah. Prita sendiri tampak terkejut sebab dia masih mematung di ambang pintu kamarku. Kurasa dia bingung harus merespons seperti apa. Mungkin juga Prita memang tidak pernah diajak papanya lari pagi.

Tungkaiku berjalan menuju dapur dan melihat Mama sedang mengaduk nasi di magic com. "Kok Papa bukannya ngajak Naura sih, Ma?" bisikku pada Mama.

"Bukannya setiap weekend kamu selalu diajak dan nggak mau?"

Aku menggaruk kening. "Iya, sih." Lantas memerhatikan gerak-gerik Prita yang sepertinya mulai setuju sebab papaku terus memaksanya dengan berbagai alasan seperti 'kan enak kalau jalan pagi, bisa menghirup udara segar sambil makan donat~'

"Tapi, Ma." Aku kembali menginterupsi. "Emangnya, Mama nggak cemburu lihat Papa dekat sama Prita?"

Melirikku sekilas, Mama memberikan sentilan kecil di dahi. "Kamu kali yang cemburu."

"Kok Naura?"

Gerakan Mama berubah. Kali ini, beliau membuka lemari pendingin dan siap mengeluarkan beberapa bahan masakan. "Ya, kamu kan kalau ada Prita nggak mau ngumpul di depan. Kenapa coba? Cemburu kan pasti karena Mama sama Papa lebih banyak ngasih perhatian ke Prita? Hayoo."

Satu desisan kecil kuberi. Kini, Mama mulai sibuk memecahkan telur dan mengocoknya. "Lagian, Naura berasa jadi nyamuk," keluhku, membuat Mama spontan tertawa.

Kualihkan pandanganku pada Prita yang kini mulai melangkah keluar rumah bersama Papa. Mama masih sibuk dengan telur dadarnya sampai tidak sadar bahwa kedua manusia itu sudah mencapai pintu gerbang tanpa pamit. Aku mengambil kursi yang ada di dapur dan duduk di dekat meja bar, menghadap Mama.

"Ma," panggilku tepat ketika Mama memasukan kocokan telur ke wajan. Mama berdeham sebagai respons. "Mama ... tau, soal orang tua Sena dan Prita?"

Sekilas, kulihat gerakan Mama berhenti, baru kemudian melanjutkan lagi. "Soal orang tua Sena, tau. Tapi kalau Prita, belum. Kenapa emang?"

Lagi-lagi aku menghela napas. "Nggak papa, sih." Lantas terdiam setelahnya.

Sekitar lima menit selesai menggoreng telur dadar, Mama mencuci tangan dan menghampiriku yang masih duduk di kursi. "Kenapa, Sayang?"

Atensiku teralih pada Mama dengan celemek abu yang masih melekat. Entah, apa aku bisa mengatakan masalah ini atau tidak. Tapi, kurasa aku bisa menyensor beberapa bagian supaya tidak terlalu detail.

Sekelebat udara keluar dari hidungku. "Naura ... bingung, Ma."

"Bingung kenapa, Sayang?" tanya Mama dengan gerakan tangan yang sudah mencapai pucuk kepalaku, mengelusnya pelan.

"Nggak tau, sih. Naura ngerasa ... aneh aja." Sebuah embusan napas panjang keluar dari hidungku. "Sejak kenal Sena, Prita, sama Gilang, Naura jadi ngerasa ... kayak punya saudara. Apalagi, kalau mereka ke sini dan Mama sama Papa kasih perhatian penuh ke mereka."

Mama tersenyum dan memegang kedua pipiku dengan lembut. "Cemburu, nih, ceritanya?"

Aku mengalihkan arah mata sejenak sebab terlalu malu untuk mengakui.

Paham betul bagaimana maksud dari reaksiku, Mama tertawa kecil dan mengacak pelan poniku. "Ciee. Gengsi ya buat ngaku?"

Dalam hati, aku berdecih. Tentu saja aku gengsi. Namun, kalimat itu tidak kulafalkan secara verbal dan hanya menggambarkannya lewat bentuk bibirku yang mengerucut.

Tahu-tahu, kudengar kekehan kecil dari wanita di hadapanku. "Naura," panggil Mama, membuatku kembali memusatkan perhatian padanya. "Sama kayak kamu yang nganggap mereka saudara, Mama juga anggap teman-teman kamu sebagai anak Mama sendiri." Penuturan Mama yang mendadak lembut membuat atensiku seratus persen mengarah pada beliau. "Kan kamu sendiri yang tau, gimana Sena yang hidup tanpa orang tua. Masa Mama nggak boleh sih jadi orang tua buat Sena juga? Hm?"

Accismus (VERSI REVISI) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang